Senin, 01 Februari 2016

Tawan, Kreatifitas, dan Galaknya Indonesia

Orang pintar di Indonesia itu cuma disia-siakan dan terbuang. Lebih baik kalau pintar pergi ke luar negeri saja

Kata-kata di atas sangat sering kita dengar. Bahwa menjadi orang pintar di Indonesia seolah-olah tidak berguna, karena seberapapun besar karya kita, sudah tentu karya kita akan terbuang dan tersia-siakan. 

I Wayan Sumardana atau yang biasa dipanggil sebagai Tawan, merupakan sosok fenomenal beberapa saat terakhir ini, disamping berita tentang Kopi Sianida Mirna. Eksoskeleton yang dibuatnya membuat Tawan dijuluki sebagai Iron Mannya Indonesia. Ketenarannya semakin memuncak, dan di puncak ketenarannya itu mulai banyak orang yang menyerang. Mulai dengan mengatakan bahwa karyanya itu palsu, karyanya tidak mungkin, dan lain sebagainya.

Tawan, merupakan salah satu cerminan ganasnya Indonesia. Kreatif sedikit, langsung mendapatkan kritikan yang pedas. Apalagi setelah tahu lulusan apa orang yang kreatif tersebut. Seperti halnya Tawan, yang awalnya disanjung karena kemampuannya, kemudian dijatuhkan sejatuh-jatuhnya oleh orang yang ingin disebut profesional dan ahli di bidangnya, hanya karena Tawan yang lulusan STM dan sudah pasti dianggap oleh si profesional tersebut tidak ahli di bidang tersebut.

Masyarakat profesional kita lebih terdidik mulutnya untuk berbicara daripada untuk berkarya. Tentu harus ada peralihan mindset dari berkata-kata menjadi berkarya. Sejujurnya, Indonesia tidak kekurangan jumlah orang pintar, profesional, dan ahli di bidangnya. Sudah banyak universitas besar di Indonesia yang bisa menghasilkan lulusan yang sudah pasti pro di bidangnya. Yang menjadi kendala adalah, mereka dididik untuk sekedar menjadi kritis. Ya, kritis terhadap karya orang lain, tapi tidak pernah kritis terhadap keprihatinan di lingkungan di sekitarnya, sehingga hanya mampu berkata-kata, berucap, menghujat, tanpa punya karya yang benar-benar nyata, walaupun sederhana. Jangankan karya, mungkin solusi saja tidak pernah terpikirkan. Yang ada di otaknya hanyalah 'karya orang lain itu tidak mungkin, mustahil, hoax. Pemikiran saya yang paling oke!'.

Jangan heran ketika banyak orang yang dianggap 'profesional' dan 'ahli dibidangnya' kemudian mencemooh orang yang memiliki keterbatasan (pendidikan rendah) namun bisa menciptakan suatu hal yang berguna. Lebih berdaya guna mana? 'Profesional' yang hanya bisa mengkritisi dan menghabisi karya orang lain, atau orang berpendidikan rendah tapi bisa menghasilkan karya yang berguna?

Masyarakat kita juga lupa, bahwa mobil yang dapat melaju 220 km/jam disusun atas pesawat-pesawat sederhana. Kita lupa bahwa hal yang rumit ada dan selalu didahului oleh hal yang sederhana. Iron Man yang sedemikian rumit juga disusun dari hal yang sederhana. Segala sesuatu yang otomatis, pasti didahului dengan konsep manual. Tidak lepas dari budaya instan dan suka yang instan, masyarakat kita akan mudah mencemooh jika hal sederhana diciptakan. Masyarakat kita terlanjur menginginkan suatu hal yang besar, bombastis, canggih, dan mencengangkan. Tetapi kita lupa, bahwa kita harus memulai dari nol, dari hal yang kecil. Bagaimana bisa berkembang menjadi hal yang besar jika hal-hal yang kecil saja cenderung terus menerus dicemooh, dijatuhkan, dan tidak dianggap? Bukankah lebih baik membantu mengembangkan yang sudah ada daripada sekedar mengkritik, mencemooh, menjatuhkan jika memang kita ada dan ahli di bidang tersebut?

Kita juga terlalu sering membandingkan Indonesia dengan negara lain. Ini lho, itu lho, di sana lebih bagus, lebih gini, lha di Indonesia?'. Bagus sih membandingkan itu, tapi kalau sekedar membandingkan apa sih esensinya? Bukankah lebih baik membandingkan dan membawa perbandingan tersebut ke konteks yang lebih dalam lagi? Bagaimana masyarakat disana dan masyarakat Indonesia. Bagaimana kondisi sosial ekonominya. Bagaimana tindakan pendahuluan yang sudah dilaksanakan, dan sejauh mana itu berguna. Kontekstualkah dengan kondisi Indonesia saat ini. Jika tidak kontekstual, bagaimana menjadikannya kontekstual. 

Indonesia mungkin terlalu ganas dan terlalu banyak kritikus. Para generasi muda saat ini tidak hanya dituntut untuk memiliki idealisme dalam bidangnya, namun juga harus realistis terhadap kondisi sekitarnya. PR bagi universitas selain menghasilkan generasi yang mencipta bukan menghamba, juga harus mengajari lulusannya untuk rendah hati dan mau bekerja sama dengan lulusan lainnya (Vokasi, STM, profesional, lulusan SD, SMP, SMA) untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya guna bagi masyarakat. Bukan sekedar hanya mengkritisi dan menjatuhkan, tetapi juga mampu menciptakan. 

KKN Itu Penting, Sungguh!

KKN. Kuliah Kerja Nyata. Merupakan salah satu mata kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa yang sedang kuliah di jurusan apapun (kecuali beberapa fakultas kedokteran di beberapa universitas sudah tidak memasukkan KKN sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulumnya). Bobotnya juga lumayan, sekitar 2-4 SKS tergantung kebijakan fakultas/ universitas. Meskipun bobotnya hanya separuh dari bobot skripsi (proposal skripsi dan skripsi), namun KKN juga tidak kalah penting dalam pendidikan Strata 1.

KKN sendiri merupakan salah satu poin dalam tri dharma perguruan tinggi selain pendidikan dan penelitian, yaitu pengabdian masyarakat. Perguruan tinggi harus senantiasa melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Dan secara mudahnya, perguruan tinggi melaksanakan program KKN dan menerjunkan seluruh mahasiswanya secara bergelombang ke suatu daerah atau wilayah yang menjadi 'tanggung jawab' atau 'kekuasaan' perguruan tinggi tersebut. Masing-masing perguruan tinggi di daerah sudah membagi wilayah binaannya masing-masing.

Jika KKN merupakan salah satu implementasi tri dharma perguruan tinggi dan juga termasuk salah satu mata kuliah wajib di perguruan tinggi, berarti KKN penting dong? Sangat penting sekali. Dampak paling jelas adalah di nilai semester. Lumayan, KKN ada 3 semester. Lumayan 'ngganjel' kalau KKN hanya dapat C dan harus mengulang. Kebanyakan mahasiswa sih bilangnya KKN itu nggak penting. Begitu dapat nilai jelek dan harus mengulang KKN, langsung ngamuk-ngamuk. Dasar mahasiswa!

Lepas dari masalah nilai (nilai ini krusial, karena rata-rata mahasiswa sekarang hanya mengejar 2 hal: 'nilai' dan 'lulus'. Sementara aspek psikomotor dan afektif tidak digubris sama sekali), KKN juga sangat penting bagi masa depan. Ya, masa depan masing-masing individu mahasiswa itu sendiri. Rata-rata pendidikan S1 di Indonesia adalah 3,5-4 tahun. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, waktu kuliah selama itu sebagian besar waktu mahasiswa dihabiskan untuk 3 hal: belajar, pergi/nongkrong bersama teman-teman, dan berdiam diri di rumah/ kos/ kontrakan. Padahal ada satu hal penting yang juga harus dilakukan mahasiswa: mendekatkan diri dengan masyarakat. Hanya sebagian kecil saja mahasiswa yang pada akhirnya bisa benar-benar mendekatkan diri dengan masyarakat dan menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat. Sebagian besar mahasiswa yang lainnya hanya menghabiskan waktu untuk 3 hal tadi. Pun bertemu dengan masyarakat juga hanya bertanya dan menjawab seperlunya saja. Maka, tidak salah jika 1 bulan dari proses sepanjang 3,5-4 tahun diambil dan digunakan secara utuh untuk program yang intinya adalah mendekatkan diri mahasiswa kepada masyarakat. Mendekatkan diri dalam arti benar-benar berada di dekat masyarakat; tidak sekedar berkomunikasi secara verbal, tetapi juga mampu memahami permasalahan di masyarakat dan setidaknya mampu memberikan solusi kepada masyarakat atas masalah yang dihadapi. Sehingga, mahasiswa tidak terus menerus merasa melangit dan merasa tinggi hati atas posisinya sebagai sarjana, sehingga kedekatan dengan masyarakat harus dikorbankan dan tujuan utama menjadi sarjana: mampu memecahkan dan membuat solusi bagi permasalahan di masyarakat, hanya sekedar menjadi angin lalu. Kemudian terbentuklah mahasiswa yang konsumtif, gemar hura-hura, tidak solutif, dan susah berbaur dengan komunitas masyarakat.

Apa yang membuat KKN menjadi seolah-olah tidak penting?

Ada sebuah lingkaran setan yang membuat KKN menjadi barang yang disepelekan dan seolah-olah tidak penting, sama seperti mata kuliah Kewarganegaraan/PKn dan Agama. Lingkaran setan itu dipromotori oleh pihak universitas dan pihak mahasiswa.

Dari pihak universitas, KKN dilaksanakan oleh lembaga internal yang disebut sebagai LPPM, LP4M dan sejenisnya. LPPM dan sejenisnya merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program penelitian dan pengabdian masyarakat lingkup universitas. Kesalahan dari pihak LPPM yang mengakibatkan KKN menjadi program yang disepelekan adalah LPPM selalu kurang persiapan dalam mengadakan KKN. Hampir di semua universitas sama: data peserta dan lokasi KKN yang tidak jelas, munculnya nama-nama peserta dan lokasi KKN yang sangat mendadak (rata-rata 3 minggu menjelang KKN, bahkan ada beberapa kampus yang baru muncul 2 minggu sebelum KKN dilaksanakan, amazing), arahan kegiatan yang sangat tidak jelas, tema besar yang kadang tidak ada, dan lain sebagainya. Kesalahan paling fatal adalah pengumuman nama peserta dan lokasi KKN yang mendadak, diikuti dengan pengarahan yang seadanya dan harus mengumpulkan proposal kegiatan secepat kilat bagaikan petir menyambar dedaunan. Padahal, tanpa disadari program KKN ini perlu pengarahan yang jelas, runtut, dan sistematis. Mahasiswa perlu tahu, mulai dari perkenalan anggota kelompok, kemudian tema besar apa yang akan disajikan dalam KKN ini (dan tema besar nanti harapannya dapat menjangkau permasalahan masyarakat dan membuahkan setidaknya satu program unggulan), kemudian dilanjutkan dengan kegiatan apa saja yang harus dilakukan pra pemberangkatan (termasuk survey), kemudian survey apa saja yang harus dilakukan, sehingga pada H-7 pengumpulan proposal harus ditegaskan bahwa permasalahan di masyarakat dan solusinya sudah dituangkan dalam bentuk proposal jadi. Sayangnya, beberapa universitas besar melupakan kewajiban ini, kewajiban untuk membina mahasiswanya sehingga benar-benar siap terjun di lapangan. Akhirnya yang terjadi adalah pelaksanaan KKN yang serampangan, pokoknya tempat sudah ada, mahasiswa tinggal diangkut ke lokasi dan 'dibuang', terserah mereka mau ngapain, pokoknya pulang ke perguruan tinggi sudah harus membawa LPJ yang bagus dan kesan yang bagus di daerah yang ditinggali. Padahal tidak seharusnya begitu, KKN bisa lebih berdaya guna lagi bagi masyarakat. Meskipun tidak semua perguruan tinggi demikian. Selain itu, kehadiran Dosen Pendamping Lapangan (DPL) juga sangat diperlukan untuk mengontrol program kerja yang dilaksanakan. Ya memang harus dimaklumi bahwa dosen tugasnya sudah sangat banyak. Tapi, berhubung sudah diserahi tanggung jawab untuk mengunjungi mahasiswanya, mbok ya tanggung jawabnya dilaksanakan. Toh kan dapat tunjangan tambahan dari universitas, ya to ya to? Crosscheck dari pihak universitas selama mahasiswa terjun ke lapangan juga sangat diperlukan. Terutama untuk mengontrol apakah ada permasalahan disana, bagaimana pelaksanaan program kerja, apa evaluasi dari program kerja yang sudah dilaksanakan, apa rencana tindak lanjut yang harus dilakukan jika program belum berjalan dengan baik. Selain itu, pendanaan juga sebaiknya diatur sejak awal: menabung untuk pelaksanaan KKN (rata-rata per anak sekarang sudah habis sekitar Rp 500.000-Rp 1.200.000,00 untuk sekali pelaksanaan KKN) supaya lebih ringan di akhir. Sehingga pihak universitas hanya tinggal menyediakan uang untuk transportasi menuju lokasi, biaya operasional LPPM dan DPL, dan fee tambahan bagi daerah yang dituju (beberapa daerah memang perlu uang pelicin) (masak iya seluruh biaya KKN harus mahasiswanya yang nanggung!).

Dari pihak mahasiswa, sebenarnya merupakan efek lanjutan dari pihak universitas yang serampangan dalam mengatur KKN. Ditambah lagi dengan salah satu sifat dasar mahasiswa masa kini: malas. Karena KKN dilaksanakan secara serampangan, apalagi deadlinenya tidak jelas dan baru diumumkan mepet-mepet, mahasiswa kemudian menjadi malas. Belum lagi kalau daerahnya 'menyebalkan': daerah yang terkenal susah air, banyak lelembutnya, masyarakatnya gemar melamar mahasiswi-mahasiswi yang cantik, dan lain sebagainya. Malas-malas tersebut terkumpul menjadi satu menjadi malas kuadrat. Ditambah dengan ketidakjelasan apa yang harus dilakukan pra-KKN, selama KKN, dan pasca-KKN. Dan tentu mahasiswa tidak kalah ngawur jika dibandingkan dengan LPPM: membuat semuanya awur-awuran. Program kerja seadanya, pokoknya ada penyuluhan, kerja bakti, ngajar anak TK/SD sudah cukup. Materinya ya itu-itu saja: menabung, Pola Hidup Bersih dan Sehat, menggosok gigi, narkoba. Sudah itu thok cukup. Padahal, semestinya bisa diberikan program-program yang lebih berdaya guna, berkelanjutan, dan dapat menjadi suatu keunggulan bagi daerah yang ditinggalkan. Hingga akhirnya daerah tersebut dapat dijadikan pilot-project bagi daerah lainnya. Selain itu, sudah terpatri dalam-dalam di dalam pikiran mahasiswa mindset bahwa nilai KKN sudah pasti A. Pokoknya tinggal baik-baik saja sama ketua kelompok, nanti pasti dapat A karena yang menilai KKN adalah ketua kelompok. Akibatnya, mindset "lebih baik tidak ngapa-ngapain, toh dengan tidak ngapa-ngapain tetap dapat nilai A yang penting ketuanya oke" berkembang dengan sangat pesat.

Bagaimana membuat KKN lebih berkualitas?

KKN merupakan kegiatan lintas bidang dan lintas instansi. Ada hubungan antara mahasiswa, kampus, dan pihak pemerintahan dalam hal ini pihak desa dan kecamatan. KKN seharusnya bisa dibuat menjadi sebuah kegiatan yang berkualitas: kegiatan yang bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa, daripada sekedar kegiatan penyuluhan yang habis lalu, piknik-piknik, dan pindah tempat tinggal.

Pertama, perlu adanya kesepakatan antara pihak kampus dan pemerintah daerah serta tokoh masyarakat daerah yang akan digunakan KKN. Kesepakatan bahwa KKN (seharusnya) bukan merupakan tindakan charity, bukan merupakan tindakan yang sekedar memberi, diterima, lalu ditinggalkan. Misalnya membuat gardu/pos kamling, membuat gapura, mengecat jembatan, memberikan sembako, dan segala sesuatu yang sekedar memberi tanpa meningkatkan nilai edukasi. KKN seharusnya merupakan tindakan empowerment, pemberdayaan masyarakat. Melalui pemberdayaan yang baik, masyarakat akan semakin berdaya dari banyak hal. Tentu semuanya tidak bisa dijalankan dalam satu kali KKN, semuanya akan berjenjang. Memang akan sangat lama dan panjang, mungkin juga kurang berkesan bagi masyarakat di desa yang (maaf) mungkin sudah terbiasa dengan tindakan charity, diberi segala sesuatu dengan gratis. Empowerment tidak memberikan sesuatu atau barang yang jelas saat itu juga, namun akan memberikan suatu hal yang berkelanjutan dan berjenjang yang akan berguna bagi kehidupan masyarakat di masa yang akan datang. Misal, dalam satu kali KKN dipilih tema Ekonomi dan Kesehatan. Maka, kegiatan KKN akan berfokus di bagaimana cara memberdayakan masyarakat secara ekonomi dan kesehatan. Segala potensi, ancaman, dan peluang yang ada dan dapat diciptakan dianalisis secara mendalam. Sudah tentu mahasiswa bisa, apalagi mahasiswa sekarang kritis-kritis. Kemudian data tersebut diolah dan diwujudkan menjadi tindakan pemberdayaan. Memang rumit, karena pemberdayaan harus berjenjang. Minimal harus dimulai analisis masalah, pencarian solusi, pelaksanaan solusi, masa pengawasan/bimbingan agar masyarakat menjadi benar-benar berdaya. Sudah tentu pola-pola 'sekedar memberi' yang sering menjadi candu bagi masyarakat harus ditinggalkan. Hal tersebut membuat masyarakat menjadi manja, dan sedikit-sedikit menyalahkan pemerintah jika tidak diberi. KKN bukan untuk membentuk mental pengemis, namun menjadikan masyarakat lebih berdaya dan mahasiswa lebih mampu berkomunikasi kepada masyarakat secara aktif terhadap bidang ilmu atau pengetahuan umum yang (seharusnya) mereka kuasai.

Kedua, dari pihak internal universitas. Sering sekali LPPM atau lembaga sejenis yang menaungi KKN hanya menganggap KKN sebagai angin lalu, tidak perlu diurus toh jalan sendiri. Tidak, tidak demikian. Buktinya sangat banyak mahasiswa yang menyalahkan LPPM atas ketidakjelasan KKN yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, LPPM setidaknya harus sedikit lebih 'niat' dalam mengurus KKN. Seminimalnya, membuat pengarahan yang komprehensif bagi mahasiswanya. Bukan hanya yang sekedar tiba-tiba mahasiswa dikumpulkan berdasar wilayah KKN, diarahkan sedikit, kemudian disuruh membuat proposal dadakan, disuruh berangkat KKN diantar (dibuang sih lebih tepatnya) pakai kendaraan ke lokasi KKN, kemudian selesai KKN dimintai LPJ. Pengarahan yang lebih baik, misal apa sih KKN itu? Bagaimana kondisi geografis daerah secara sepintas, apa yang lagi trend di daerah tersebut, apa tema besar KKN, apa yang bisa diolah ketika KKN, dan harus ngapain ketika KKN, merupakan petunjuk yang mahasiswa ingin tahu. Demikian juga pendampingan dosen-dosen pendamping lapangan (DPL). Pendampingan oleh DPL tidak hanya perlu ketika eksekusi KKN, tetapi juga pra-KKN dan pasca-KKN. Dalam hal ini, dosen DPL kan pasti dapat tunjangan tambahan ya, ya setidaknya sedikit lebih niat lah dalam membimbing mahasiswanya. Ketika mahasiswa survey geografis, setidaknya DPL ikut mendampingi. Ketika membuat proposal dan rencana kegiatan, juga sebaiknya didampingi, apakah sudah sesuai analisis masalah atau hanya sekedar kelihatan 'yang penting kerja' atau 'yang penting penyuluhan'.

Ketika kita sebagai mahasiswa tinggal di kota besar, sungguh titel sarjana tidak berarti apa-apa. Sarjana hanya berarti calon pengangguran baru, jika itu di kota besar. Cobalah beberapa hari bermain ke desa, ke tempat yang jarang dijamah orang, dimana sarana kesehatan tidak ditangani oleh dokter, perawat, dan bidan, melainkan hanya ditangani oleh satu-satunya bidan desa atau dukun. Disana akan ditemui, betapa berharganya gelar sarjana dan betapa calon sarjana dianggap sebagai orang yang wah dan tahu segalanya. Maka, dengan KKN, terutama rekan-rekan yang diterjunkan di daerah yang sedikit pinggiran, janganlah mengecewakan mindset mereka. Buatlah mereka menjadi warga yang lebih berdaya, lebih maju selangkah dari sebelumnya, dan bisa menerapkan pola-pola hidup yang lebih baik secara berkelanjutan. Janganlah meninggalkan pola kemiskinan mental yang baru, mental meminta-minta.

Lebih baik meninggalkan suatu kebiasaan baru dan pola pemikiran baru yang baik yang akan berlangsung secara terus menerus dan turun menurun daripada meninggalkan barang berbentuk yang suatu saat dapat hancur, hilang, dan dilupakan.

Selasa, 10 November 2015

Kita Bangga, Kita Lupa Berjuang

Sebuah renungan mengenang Hari Pahlawan 10 November 2015

.......
"Kamu berani sama saya, ha?!"
"Berani aja, orang jelas situ yang salah!"
"Saya keluarganya Polisi, Bapak saya punya jabatan yang penting di wilayah sini!"
"Haha, saya nggak takut, ayah saya juga seorang Militer dengan pangkat yang tinggi."
"Jadi kamu nantang saya?"
........

Sekeping percakapan yang nyaris selalu terdengar ketika ada peristiwa kecelakaan di jalan-jalan protokol, baik kota besar maupun kota kecil. Mulai dari Bapakku Jendral, Bapakku kapolsek, Ibuku punya jabatan di pengadilan setempat, Masku kepala preman kampung, bahkan sampai Bapakku polwan. Mobil-mobil pun segera ditempel informasi yang menyebutkan bahwa mobil tersebut adalah milik keluarga aparat beneran, atau yang seolah-olah miliknya aparat supaya ditakuti oleh sipil. Bukan perkara kecelakaan di jalannya yang akan dibahas dalam artikel ini.

Kita terkadang sangat bangga pada orangtua kita yang punya jabatan tinggi dalam suatu instansi. Bangga pada orangtua adalah sebuah keharusan, apapun pekerjaannya, apapun profesinya, apapun jabatannya. Namun, sayangnya kebanggaan tersebut sangat sering disalahartikan dalam berbagai kesempatan. Salah satu contohnya adalah potongan peristiwa kecelakaan di atas. Dan ironisnya, kebanyakan yang melakukan hal tersebut adalah anak-anak muda yang orangtuanya memiliki jabatan di instansi, entah itu sekedar kata-kata untuk menggertak, atau memang kenyataan yang memang demikian. Namun, dengan adanya perkataan demikian, hal tersebut sama saja menjadikan orang tua atau jabatan orang tua kita sebagai 'tumbal' kecerobohan kita.

Ya memang sering ketika ada orang tabrakan dan ternyata yang ditabrak adalah anak petinggi aparat, langsung datang berombongan bawahan-bawahan orangtuanya dan menghajar habis-habisan si penabrak. Namun, sekali lagi, bukan itu yang akan dibahas dalam artikel ini.

Sikap bangga terhadap orang tua adalah hal yang sangat wajar dan harus, saya tegaskan sekali lagi. Namun, menjadi bangga tetapi kemudian tidak berbuat apa-apa, alias mendompleng 'kekuatan' orang tua, adalah tindakan yang sangat tidak diharapkan sebagai generasi penerus bangsa. Ya, orang tua kita memang punya jabatan. Tapi perlu diingat pertanyaan satu ini: Lha kalau orang tuamu punya jabatan, kamu siapa? Apa iya kamu nanti akan bisa sama, atau lebih baik daripada orang tuamu ketika kamu terus-terusan mendompleng jabatan orang tua, tapi lupa mengembangkan diri sendiri?

Kadang, generasi muda lupa. Iya, memang bapaknya adalah petinggi suatu perusahaan, dan suatu saat akan dengan mudah memasukkan dirinya ke dalam perusahaannya tanpa tes. Sementara dirinya tidak memoles dirinya sendiri agar menjadi benar-benar pantas dan tidak memalukan orang tuanya, apalagi orang tuanya punya reputasi yang baik di perusahaan. Apakah bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin ketika dirinya akan didepak di kemudian hari setelah bapaknya pensiun dan terbukti bahwa dirinya adalah pribadi inkompeten? Sangat mungkin.

Dan masih sangat banyak contoh lagi. Orang tuanya petinggi aparat misalnya, tapi tingkah lakunya sama sekali jauh dari santun, seenaknya sendiri karena merasa bisa seenaknya, sekolah tidak benar, dlsb dlsb.

Kita sebagai generasi muda selalu lupa berjuang ketika sudah dihadapkan pada kemapanan. Tidak akan menjadi masalah ketika kemapanan tersebut diraih sendiri dengan kerja kerasnya. Akan menjadi masalah ketika sudah lupa berjuang karena merasa nyaman karena orangtuanya adalah petinggi. Artinya, akan terbentuk generasi muda yang kurang berjuang, ditambah lagi kultur keluarga yang kadang 'cul-culan' kalau dengan anak-anaknya, dengan alasan bapak sama ibu sibuk kerja, sehingga anak dibiarkan saja -sekolah ya syukur, nggak ya udah. Ada? Sedemikian banyaknya keluarga yang demikian.

Kita dengan gegap gempita meneriakkan bahwa hari ini adalah Hari Pahlawan dan selalu menggemakan bahwa penghormatan kepada Pahlawan adalah suatu keharusan. Ya, memang demikian. Pahlawan, baik yang sudah meninggal maupun saat ini masih berjuang menjalani sisa hidup, adalah orang yang sangat layak dihargai, dihormati, dan tidak dibuat sedih dengan kelakuan kalangan muda kita: foya-foya, bermental tempe, mudah menyerah, dan lain-lain.

Tidak saatnya lagi kita menggemakan kata-kata kepahlawanan, tetapi kitanya sendiri tidak bisa berjuang dengan sepenuh hati. Mungkin para pahlawan yang sudah tenang disana cuma akan 'mbatin': "Halah yo, rugi aku memperjuangkan Indonesia kalau kaum mudanya sekarang saja nglokro, mblakrak tidak jelas!"

Bagaimana caranya berjuang? Harus dengan demo koar-koar minta naik gaji, minta Jokowi turun? Berjuang tidak sesimple itu. Cobalah dengan cara yang lebih rumit lagi. Buat yang belum selesai kuliahnya, ya berjuanglah untuk menyelesaikan kuliahnya dan sesegera mungkin menyelesaikan skripsinya. Bagi yang belum dapat kerja, berjuanglah untuk bisa mendapatkan kerja, syukur-syukur bisa membuka lapangan pekerjaan. Bagi yang sudah bekerja, berjuanglah untuk cita-cita kalian agar bisa terwujud. Berjuang tidak harus dengan mendompleng jabatan keluarga, apalagi orang tua. Masing-masing punya jalan tersendiri untuk berjuang.

Tidak perlu muluk-muluk menetapkan target perjuangan agar "Indonesia swasembada pangan 2016" jika memang diri tidak mampu membawa Indonesia ke arah sana. Berjuanglah untuk hal yang simple bagi kehidupan sehari-hari. Karena perjuangan  yang kecil saja, jika dilakukan bersama-sama untuk tujuan yang berbeda (walaupun sebenarnya tujuannya akan sama di akhir, kemapanan), tentu sudah akan membawa Indonesia ke arah yang lebih maju.

Untuk pemuda Indonesia agar dapat lebih struggle dan lebih cekatan dalam menghadapi permasalahan hidupnya sendiri.

Selamat Hari Pahlawan, jadilah Pahlawan, seminimalnya bagi dirimu sendiri dan orang-orang sekitarmu.

Jumat, 31 Juli 2015

Objek Wisata: Cengkeraman Sampah dan Rusaknya Ekosistem

Menanjaknya jumlah penonton film 5CM ternyata mengakibatkan menanjaknya pula jumlah anak-anak muda yang gemar travelling dan melakukan trip. Terutama, saat itu, yang paling jelas terlihat meningkat tajam pengunjungnya adalah jalur pendakian Ranupane-Mahameru di Kab Lumajang. Semenjak setelah saat itu, dan seiring mulai majunya media sosial sejenis Twitter, Path, Facebook, dan lain sebagainya, kegemaran anak muda untuk travelling semakin menjadi-jadi. Mulai banyak muncul slogan-slogan yang 'mengajak' untuk travelling:



"Jangan hanya di kamar saja, Indonesia itu indah!"

"Mahameru 3676 mdpl. Kamu kapan kesini?"

Disertai dengan background foto pemandangan alam yang indah. Tak pelak ukuran gaul dan trendi anak muda saat ini sudah bukan lagi kemana-mana pakai fashion trend terbaru, menggunakan barang mahal dan berkelas, naik motor mahal, naik mobil bagus. Ukuran gaul dan trendi anak muda sekarang adalah: travelling ke tempat indah dan atau berlomba-lomba menaklukkan puncak tertinggi. Menarik? Sebuah fenomena yang menarik tentunya. Ada dua fenomena yang patut kita amati dan kritisi bersama. Pertama, adalah fenomena anak muda yang awalnya tidak senang keluyuran (travelling), tapi kemudian diajak travelling, dan kemudian ketagihan untuk travelling. Kedua, fenomena munculnya banyak sekali obyek wisata baru, mulai dari yang sebenarnya dipaksakan sampai yang benar-benar indah alami, mulai dari yang dikelola secara serius, terjaga, dan terencana hingga yang dikelola asal-asalan pokoknya menghasilkan duit, dan lain sebagainya.

Fenomena ini menarik, seiring mulai maraknya berita bahwa banyak sampah berserakan di obyek-obyek wisata, sejalan pula dengan meningkatnya jumlah pengunjung di obyek wisata. Salah siapa? Salah pengelola? Salah pengunjung? Salah penemu obyek wisata? Salah presidennya Jokowi? Salah Prabowo tidak jadi presiden? Salah Megawati? Atau salah megamendung (?)

Dalam hal ini ada 2 pihak yang bisa kita 'persalahkan'. Pertama adalah kita sendiri sebagai pengunjung, kedua adalah pengelola. Kesalahan terbesar dari banyaknya sampah di obyek wisata adalah pribadi pengunjung sendiri. Kurangnya pemahaman bahwa alam bukanlah tong sampah sepertinya belum mendarah daging pada jiwa traveller-traveller ini, baik yang traveller muda, tua, serabutan, part time, atau ababil traveller. Seminimalnya, ketika berkunjung ke obyek wisata, apa yang kita bawa yang potensial menjadi sampah, adalah tanggung jawab diri kita sendiri sebagai pembawa benda tersebut. Ketika benda tersebut kemudian menjadi sampah, maka bukan merupakan hak kita untuk membuang sembarangan di area obyek wisata. Seminimalnya, sampah milik kita tersebut dikumpulkan dan dibuang pada tempat yang disediakan oleh pihak pengelola (jika di obyek wisata non jalur tracking/pendakian, biasanya disediakan tempat sampah. Jika di jalur pendakian/tracking, kumpulkan sampah sejak mulai dari awal berangkat, sampai dengan kepulangan, kemudian sampah yang sudah dikumpulkan dibuang di pos pertama pendakian/tracking). Semaksimalnya, dan syukur banyak yang paham, kita punguti juga sampah-sampah yang diproduksi oleh wisatawan lain yang tidak tahu diri. Seminimalnya benda sukar terurai seperti plastik dan botol plastik, kita kumpulkan dan kita buang di tempat yang seharusnya.

Pengunjung amatir (maaf seribu maaf untuk mengatakan ini) tentu akan langsung reaktif dan menyalahkan pihak pengelola. Biasanya kalimat yang terlontar adalah sebagai berikut:

"Hellow, kita kan udah bayar tiket masuk, jadi kebersihan obyek wisata adalah tanggung jawab pengelola dong!"

Hellow juga! Kita gunakan analogi saja, misalkan dalam sebuah obyek wisata dengan tiket masuk Rp 2.000, memiliki pengunjung 100 orang per hari dan luas area 1 hektar. Misalkan 1 orang saja membawa setidaknya 4 sampah plastik, artinya dalam sehari sudah terdapat 400 sampah plastik yang tersebar di lahan seluas 1 hektar. Buat yang ngomong kebersihan tanggung jawab pengelola karena sudah bayar tiket, mau kah kalau kalian dibayar Rp 200.000 untuk membersihkan 400 sampah plastik dalam luas lahan 1 hektar dalam sehari? Kalau kalian bilang mau, barulah kalian pantas berbicara bahwa sampah adalah tanggung jawab pengelola. Setidaknya analogi bodon ini cukup menjelaskan. Belum lagi jalur pendakian yang panjangnya berkilometer-kilometer dan luasnya beribu-ribu hektar. Maka, adalah mutlak jika sampah adalah tanggung jawab masing-masing individu yang melakukan travelling.

Kedua, kesalahan dapat ditimpakan kepada pengelola. Kesalahan pengelola tidak hanya berakibat pada menumpuknya sampah dan rusaknya ekosistem yang menjadi daya tarik obyek wisata. Kesalahan pengelola bisa dimulai dari kurangnya edukasi internal pengelola, kurangnya edukasi dari pengelola kepada pengunjung, kurang tegasnya pengelola terhadap aksi perusakan ekosistem/sarana obyek wisata, dan kurangnya pengelolaan yang teratur, disiplin, dan mengedepankan aspek ecofriendly. 

Pengelolaan obyek wisata alam tidak semudah mengelola angkot atau becak. Ada banyak aspek yang perlu dipenuhi dalam pengelolaan obyek wisata alam berbasis komunitas karena menyangkut aspek kehidupan makhluk lain (ikan, terumbu karang, pepohonan, hewan liar) yang tidak bisa dikomunikasikan secara verbal dengan bahasa manusia. Kesalahan yang mungkin mengakibatkan menumpuknya sampah di obyek wisata alam adalah minimnya sarana koleksi sampah, seperti tempat sampah atau point pengumpulan sampah. Hal ini tidak berlaku bagi pengelola Taman Nasional/Ranger yang mengelola jalur pendakian gunung atau tracking menuju obyek tertentu karena peraturannya sudah jelas: Sampah yang Anda bawa adalah kewajiban Anda untuk membawa pulang kembali sampai tersebut (syukur-syukur di jalan Anda memunguti sampah yang berceceran dan membawa kembali ke pos pemberangkatan). Pengelola obyek wisata dengan area yang terbuka dan bukan berbentuk tracking atau pendakian, sebaiknya melengkapi dirinya dengan tempat sampah. Misalnya obyek wisata pantai, mungkin perlu ada tempat sampah di beberapa titik yang mudah diakses untuk mencegah wisatawan membuang sampahnya ke laut. 

Menumpuknya sampah di jalur pendakian tidak bisa menjadi tanggung jawab pengelola, sampah di jalur pendakian adalah tanggung jawab pendaki sendiri, meskipun secara berkala, beberapa jalur pendakian mengalami penutupan jalur pendakian untuk pembersihan dan pemulihan ekosistem. Hal ini nampaknya karena kurang tegasnya sanksi yang dikenakan pihak pengelola kepada pendaki membuang sampah seenaknya. Caranya sebenarnya mudah: melakukan pengecekan logistik pendaki yang mungkin akan menjadi sampah oleh pengelola, mencatatnya, dan sekembalinya harus dicek kembali, apakah logistik yang mungkin menjadi sampah jumlahnya sudah sesuai dengan jumlah sampah yang dibawa pulang. Cara ini efektif misalkan jumlah pendaki sebanding dengan jumlah petugas pengelola. Sanksi yang diterapkan pun seharusnya tidak main-main, tidak hanya sekedar push up atau membersihkan area pos keberangkatan, tetapi pendaki diminta menelusuri kembali jalur pendakian sepanjang sekian kilometer untuk memunguti sampah yang ada. Mengerikan bukan? Tentu semuanya tidak ingin hal tersebut terjadi pada dirinya, sehingga masing-masing berusaha untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Selain sampah, masalah krusial lainnya yang mungkin dihadapi oleh pengelola adalah rusaknya ekosistem, terutama lagi-lagi yang melibatkan sektor tracking, pendakian, dan yang melibatkan ekosistem air dan laut (snorkelling, diving). Rusaknya ekosistem ini akibat dari kurangnya edukasi pengunjung. Kurangnya edukasi ini bisa sepenuhnya dibebankan pada kesalahan pengelola karena tidak sepenuhnya pengunjung yang datang sudah membekali dirinya dengan pengetahuan terhadap apa yang akan dilakukannya. Maka, menjadi sebuah kewajiban bagi pengelola untuk memberikan edukasi kepada wisatawan untuk memberitahu apa yang akan dilakukan, bagaimana caranya, dan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Misalkan, untuk snorkelling wisatawan harus diberi tahu bagaimana caranya snorkelling, bagaimana jika terjadi kondisi darurat, larangan untuk menginjak, merusak, mengambil karang dan tumbuhan laut baik dengan sengaja maupun tidak sengaja (FYI, untuk menjadi karang yang bagus dan indah dilihat mata terbentuk selama bertahun-tahun, tidak terbentuk sehari jadi). Pun untuk pendakian juga demikian, disertakan larangan-larangan selama pendakian untuk tetap menjaga ekosistem (edelweiss adalah bunga yang masuk dalam kategori langka, sehingga memetik bunga edelweiss dapat dikenakan denda dan kurungan). 

Kunjungan wisatawan yang membludak pun dapat meningkatkan jumlah sampah dan meningkatkan kerusakan ekosistem. Maka, sebenarnya kontrol jumlah wisatawan adalah cara yang cukup baik dalam menjaga ekosistem alam tempat wisata tersebut. Komentar miring pasti akan bermunculan: "Wisata alam kan adalah anugerah Tuhan, kenapa sih harus dibatasi? Ini kan hak kita untuk melihat keindahan Tuhan!" Itu hanya alibi. Pengelola yang baik, sebaiknya menyesuaikan kemampuan pengelolaan dan jumlah pengunjung. Jika pengelola hanya mampu mengelola 100 pengunjung per hari, maka jangan membuat dan melayani 1000 pengunjung per hari. Hal ini lebih baik dan terkelola daripada pengelola membiarkan beribu-ribu pengunjung datang dengan tujuan tidak jelas dan tingkah laku tidak jelas, akhirnya ekosistemnya menjadi tidak jelas juga. Sudah ada beberapa obyek wisata yang menerapkan hal ini, diantaranya adalah Goa Jomblang di Gunungkidul DIY, Pantai Tiga Warna di Kab. Malang Jatim, Jalur Pendakian Mahameru di Lumajang Jatim, dll. Pembatasan bukan merupakan masalah, jika memang tujuannya adalah untuk edukasi pengunjung dan menjaga ekosistem agar tetap baik adanya.

Sampah dan kerusakan ekosistem adalah tanggung jawab kita bersama sebagai pengunjung, sebagai penikmat. Travelling memang penting, terutama untuk melatih kemandirian dan kemampuan mengatur waktu, tujuan, dan memaksimalkan segala yang ada dalam diri kita. Tetapi, bertravellinglah secara bermartabat. Jadilah traveller yang tidak hanya mengambil foto, selfie-selfie, haha hihi, kemudian buang sampah sembarangan. Ditambah lagi marah-marah kalau diingatkan agar tidak buang sampah sembarangan. Jadilah traveller yang suka mengambil foto, tetapi juga suka memungut sampah yang dihasilkan oleh makhluk-makhluk sejenis manusia yang tidak bertanggung jawab. Pengelola disini hanya sebagai fasilitator. Eksekutor sebenarnya dari kebersihan alam dan ekosistem adalah kita sebagai pengunjungnya.

Travelling lah, dan jadilah traveller yang dewasa. Manusia diciptakan untuk memahami alam, menjadi titik tumpu keseimbangan ekosistem. Travelling lah dengan bersih dan disiplin. Indonesia itu Indah, salam lestari!

Selasa, 12 Mei 2015

Jadi Dokter dan Dokter Gigi Itu Mudah (?)

Sabtu, 2 Mei 2015. Badan lemah disertai panas tinggi menghantarkan saya kembali ke Unit Gawat Darurat (UGD) RSU Dr Soetomo Surabaya. Sudah 6 bulan tidak bersua tempat ini, setelah sebelumnya akan suntik ATS tetapi batal karena alergi. 

Suasana pagi itu sangat ramai, tapi tidak seramai biasanya. Pasien cukup berjubel pagi itu. Beberapa residen dan dokter muda nampak wajah yang kumal, seperti bangun tidur dan tidak mandi. Padahal hari sudah beranjak siang. Wajah sangat lelah terlihat dari masing-masing wajah residen dan dokter muda. Ya, kebiasaan yang harus berlangsung setiap hari, menjadi rutinitas bagi residen dan dokter muda. Memang yang bertugas di UGD ini hanya  residen dari PPDS FK Unair, dokter muda FK Unair, dan PPDGS Bedah Mulut FKG Unair. Belum lagi jika mendapat hukuman dari senior ditambah jam kerjanya hingga 24 jam karena melakukan kesalahan.

Suasana hiruk pikuk, baru saja di bagian supervisor ada keributan kecil, (lagi-lagi) tentang BPJS yang telat setoran ke rumah sakit, sehingga lumayan banyak pasien yang terhambat. Bahkan, salah satu karyawan RSU sempat mengeluh ke supervisor, bahwa ia harus rela membayar dengan uang sendiri untuk pengobatannya karena BPJS tersendat, sehingga semua karyawan tidak bisa dicover BPJS untuk sementara waktu. Entah memang demikian kebenarannya atau tidak, tapi itulah resiko bekerja di sektor kesehatan.

Meskipun wajahnya wajah lelah, tapi mereka semua tetap berusaha melayani dengan baik, berusaha. Walaupun diselingi sedikit marah dan kekecewaan, tetapi setidaknya sudah berusaha untuk bersabar. Demikian pula dokter yang memeriksa saya, tidak perlu waktu lama untuk meyakinkan diagnosanya, segera memberikan obat seperlunya, dan pemeriksaan selesai. Saat itu, ia sudah menangani pasien ke-50. Hanya dua residen yang berjaga di ruang triase siang itu. 

Sementara, diluar rumah sakit ini juga cukup banyak dokter dan dokter gigi terlunta-lunta tidak karuan. Sebagian rela begadang tidak tidur karena sebagai dokter satu-satunya di kota itu. Sebagian lagi, bahkan hampir kebanyakan, kehilangan waktunya dengan keluarga hanya karena buka praktek, atau jaga rumah sakit. Sebagian lagi anaknya keluntungan tidak jelas tidak terurus karena orang tuanya harus tiap hari tiap waktu jaga rumah sakit.


****

"Enak ya jadi dokter/ dokter gigi itu. Lihat tuh, rumahnya besar, barangnya serba mewah. Pokoknya enak wis, jadi dokter itu bisa kaya."

Kata 'dokter' memang masih menjadi primadona dan menjadi gelar kehormatan tersendiri di tengah masyarakat. Meskipun saat ini, profesi dokter sedang mencapai titik buruknya dan dianggap sebagai pekerjaan antagonis oleh sebagian masyarakat: cuma jualan obat, salah diagnosis gapapa, tidak berperan apa-apa wong hidup itu milik Tuhan, dan lain-lain. Seolah-olah profesi dokter menjadi profesi yang kejam dan dingin: bisa melakukan pembunuhan dengan legal, karena toh nanti dibela teman-temannya yang dokter. Jadi, kalau memang sejak awal ingin membunuh, kenapa kok tidak jadi psikopat atau pembunuh bayaran saja? Kenapa harus jadi dokter?

Tidak ada dokter yang tidak ingin pasiennya mengalami kesembuhan. Titik akhir keinginan semua dokter adalah sama, baik itu dokter atau dokter gigi: kesembuhan pasien, sehingga bagian tubuh pasien dapat menjalankan fungsi sebagaimana normalnya. Tidak ada dokter yang ingin agar pasiennya sakit terus menerus sehingga ia menjadi langganan dokter tersebut. Pun ada yang demikian, itu semua pasti murni suudzon sang pasien saja. Semua dokter diajarkan hal yang sama pada proses pendidikannya: bagaimana memahami mekanisme tubuh melalui serangkaian proses anatomis, fisiologis, patologis, dan lain sebagainya, hingga ditemukan titik kelainannya dimana, dan pada akhirnya dapat menggunakan dan mengaplikasikan teknologi farmasi, teknologi kedokteran, dan teknologi lainnya untuk dapat menyembuhkan kelainan patologis pada diri manusia. Ilmu memang berkembang, tetapi dasarnya tidak pernah berubah. Sangat wajar ketika ada dokter yang masih menggunakan metode lama untuk pengobatan, sementara ada metode baru yang memang belum terpublikasi secara baik.

Jadi dokter/dokter gigi tidak semudah cari kerja di perusahaan. Prosesnya saja sudah sangat panjang, 3,5-4 tahun untuk menyelesaikan S1 dan meraih gelar S.Ked atau S.K.G, dilanjutkan dengan program profesi selama 1,5-2 tahun untuk profesi kedokteran dan 1,5-entah selesai kapan untuk profesi kedokteran gigi (rata-rata program profesi kedokteran gigi selesai dalam 2 tahun) untuk hampir bisa mendapatkan gelar dr. atau drg. Lah, kok hampir bisa? Dipikir selesai ko-ass kemudian juga sudah selesai perjuangan? Langsung bisa praktek gitu? Kok enak?! Untuk bisa praktek, calon dokter dan dokter gigi yang telah selesai requirement ko-ass harus mengikuti Uji Kompetensi atau Ujian Penyetaraan (UKDI jika di kedokteran, dan UKDGI jika di kedokteran gigi, jika namanya belum ganti). Setelah lolos, langsung bisa praktek? Belum bisa juga. Harus mengurus Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktek ke konsil kedokteran (IDI dan PDGI). Beberapa universitas mensyaratkan agar lulusannya menjalani Internship (praktek di daerah) terlebih dahulu untuk mendapatkan surat kelengkapan praktek tersebut. Proses yang teramat sangat lama, 5-6 tahun. Sementara kalau kuliah biasa bisa selesai dalam waktu 3,5-4 tahun jika tidak malas dan mau memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Demikian, masih bilang jadi dokter itu enak dan mudah tinggal ikut kurikulum? Belum lagi setiap hari harus belajar buku setebal bantal, yang ko-ass di FKG belum lagi tiap hari masih harus keliling kampung mencari pasien. Skripsi? Ya, sama, di FK dan FKG ada skripsi meskipun kadang namanya beda, bahkan di beberapa universitas mensyaratkan penelitian setara dengan penelitian S2 agar skripsinya di-acc. Mudah to kuliah di kedokteran dan kedokteran gigi itu??

"Kan setelah lulus enak, bisa narik biaya seenaknya ke pasien. Dapat ceperan dari obat, ntar praktek pasiennya banyak, terus bisa beli rumah bagus, mobil mewah, dll dll dll"

Dokter dan dokter gigi adalah sebuah bisnis kepercayaan. Dan seperti yang sudah masyarakat umum tahu, membangun kepercayaan tidak cukup dalam sejam saja. Sukses atau tidaknya dokter dan dokter gigi terletak pada kepercayaan pasien pada dokternya. Seorang dokter yang pandai dengan IPK 4,00 bisa jadi kalah dengan seorang dokter yang biasa saja tapi mampu membangun kepercayaan pasien. Dengan demikian, begitu lulus dokter yang praktek tidak serta merta langsung dapat pasien banyak, keroyokan seperti beli ayam goreng murah. Sekalipun dokter yang baru praktek tersebut mewarisi praktek orang tuanya, kepercayaan pasti perlu dibangun juga. Kadang ada 5 pasien sehari bagi dokter umum baru, itu sudah baik. Bagi dokter gigi baru, kadang sehari ada 1 pasien saja sudah bagus. Sampai kapan demikian? Mungkin bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tergantung bagaimana dokter tersebut membangun trust kepada pasiennya. Sama bukan seperti ketika memulai bisnis?

Itu baru prakteknya. Apakah dokter dan dokter gigi setelah lulus dan dapat SIP-STR kemudian seumur hidupnya praktek begitu saja dan menikmati hasilnya? Wow, tidak demikian juga. Seorang dokter dan dokter gigi, wajib memperbaharui surat kelengkapan prakteknya setiap 5 tahun sekali. "Ah, kan hanya bayar saja dan sudah beres?" Siapa bilang? Untuk memperpanjang surat tersebut, seorang dokter dan dokter gigi diwajibkan mengikuti seminar dan table clinic (bagi dokter gigi) dengan skor SKP tertentu. Kadang harus ikut 3 seminar dan 2 table clinic dalam 5 tahun terakhir. Sekali seminar, kadang biayanya Rp 1,5 juta-3 juta tergantung besaran SKP, materi, penyelenggara, dan pemateri. Table clinic pun kadang biayanya Rp 800 ribu-2 juta, tergantung pemateri dan fasilitas. Itu semua jika seminar dan table clinic diadakan di dalam negri. Murah kan ya? Belum lagi menjadi wajib bagi dokter dan dokter gigi untuk update ilmu pengetahuannya melalui jurnal terbaru. Untuk jurnal ini bisa download gratis, karena kadang ada portal penyedia jurnal gratis. Pun harus berbayar, jurnal luar negeri tidak ada yang murah, kadang habis bisa sekian ribu dolar. Ilmu kedokteran dan kedokteran gigi adalah ilmu yang teramat sangat cepat berkembangnya, jika ketinggalan info selama 1 tahun saja, maka sudah jelas ketinggalan sangat jauh sekali.

****

Sedemikian mudahnya kan jadi seorang dokter/dokter gigi? Masih belum lagi ditambah berbagai masalah yang lagi-lagi mengikutkan dokter: BPJS dan dugaan malpraktek.

BPJS itu asyik, nabung tiap bulan, nanti kalau sakit tidak usah bayar. Obatnya juga bagus kok (obat generik juga merupakan obat bermutu). Fasilitas oke, dan tidak ada rumah sakit yang boleh menolak pasien BPJS. Premi juga bisa menyesuaikan. Sakit apa aja dicover sama BPJS (meskipun beberapa kasus di Kedokteran Gigi sejenis gigi tiruan lengkap, prothesa, veneer dan perawatan estetik tidak dicover oleh BPJS karena termasuk dalam perawatan tertier). Asyik banget kan ikut BPJS itu? Tapi, bagaimana dari segi dokter? Asyik juga nggak?

Salah satu dokter gigi di sebuah daerah di Jawa Timur mengaku menerima Rp 20 juta tiap bulannya dari BPJS. Fantastis bukan? Mari kita breakdown. Tiap pasien dokter gigi dikenai premi Rp 2.000,00 tiap bulannya untuk satu orang pasien. Jika dokter gigi tersebut menerima premi Rp 20 juta tiap bulannya, artinya tiap bulan dokter gigi tersebut mempunyai tanggungan 10.000 pasien. Wow, fantastis kan? Jika misalnya 10.000 pasien tersebut sadar kesehatan dan tiap bulan melakukan kunjungan (misal cabut, tambal, pembersihan karang yang tidak bisa one visit karena banyak kasus (kalau tidak salah, kunjungan ke dokter gigi dibatasi satu bulan satu kasus)), jika dokter tersebut buka 5 hari kerja, total 20 hari kerja sebulan, maka dalam sehari dokter gigi tersebut harus mengerjakan 500 pasien. Super sekali! Rata-rata dokter umum di daerah tersebut juga sama, menangani 5000 tanggungan pasien. Padahal, menurut salah satu petinggi MKDKI, seorang dokter dianggap ideal pelayanannya jika menangani 20 pasien dalam +/- 5 jam periode praktek (dengan catatan satu pasien punya waktu 15 menit untuk konsultasi dan pemeriksaan). Banyak kan gajinya? Seneng kan terima gajinya? Enak jadi dokter dan dokter gigi digaji Rp 2.000,00 tiap pasien tiap bulannya. Kalah lho sama tukang parkir depan klinik yang narik biaya parkir motor Rp 2.000,00.

Belum lagi berbagai keluhan setoran dana, logistik (bahan dan obat) yang sangat sering terlambat dari BPJS sehingga operasional sarana kesehatan terganggu. Sehingga akhirnya (lagi-lagi) dokternya yang disalahkan dan dianggap sebagai tidak profesional. Bukan rahasia lagi jika BPJS sering terlambat dalam hal tersebut.

BPJS adalah sebuah program yang disusun untuk mengubah mindset masyarakat dari pola kuratif-rehabilitatif menjadi promotif-preventif. Sehingga, semua program dan pendanaannya diarahkan ke arah promotif-preventif. Biaya yang diberikan kepada dokter dan dokter gigi sebesar Rp 2.000,00 sangat cukup jika digunakan untuk tindakan promotif-preventif. Sayangnya, mindset masyarakat Indonesia sampai saat ini masih kuratif-rehabilitatif dan akan seterusnya demikian jika tidak dilakukan penyuluhan yang adekuat. Bagaimana mungkin seorang dokter/dokter gigi menekankan dan memaksakan pelayanan pada sektor promotif-preventif jika ternyata masyarakat lebih membutuhkan pelayanan kuratif-rehabilitatif, bahkan hingga 5 tahun kedepan? Bagaimana mungkin seorang yang datang karena sakit gigi karena giginya berlubang kemudian kita berikan penyuluhan tanpa kita berikan tindakan penambalan gigi atau mengurangi rasa sakit dengan relief of pain? Sementara BPJS menekankan bahwa semua tenaga medisnya harus lari ke arah promotif-preventif, sementara dokter dan dokter giginya harus terlunta-lunta karena kebutuhan kuratif-rehabilitatif lebih menjadi kebutuhan di tengah masyarakat.

****

Hukum di Indonesia juga semakin ketat, terutama bagi orang yang lemah dan terlihat mudah dipersalahkan. Dokter dan dokter gigi juga kembali menjadi sasaran empuk penegakan hukum ini. Maksudnya baik: melindungi pasien. Tetapi tidak melindungi dokter dan dokter gigi sama sekali. MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) tidak mendapat tempat dalam menentukan apakah dokter yang dianggap malpraktek benar bersalah secara profesi atau tidak. Semua kasus kematian dalam penanganan medis, dikenakan pasal-pasal dalam KUHP, dianggap sebagai pembunuhan. Dokter dengan sengaja lalai dan melakukan pembunuhan. Dokter kok dengan sengaja lalai. Ingat sumpah Hipokrates? Jika ingat sumpah tersebut, apalagi tahu isinya, saya rasa tidak mungkin jika ada yang mengatakan 'seorang dokter sengaja lalai', karena kepentingan pasien adalah yang utama dan tidak akan melakukan tindakan yang merugikan atau membahayakan.

Sudah hampir 10 hari berlalu keputusan dari Mahkamah Agung ini keluar. Obrolan dari dosen tempat departemen saya bekerja masih cukup hangat tentang hal ini. Kemungkinan dari keputusan dari Mahkamah Agung ini adalah defensive medicine, sebuah tindakan yang muncul karena ketakutan akan dituntut ke pengadilan jika pasien yang ditanganinya meninggal padahal penanganan sudah sesuai dengan standar prosedur dan sesuai keilmuan yang didapatkan. Salah satu akibat yang mungkin akan timbul dari adanya defensive medicine ini adalah dokter atau dokter gigi enggan melakukan tindakan kegawatdaruratan medis. Jika ada kasus yang masuk ke UGD, maka dengan adanya defensive medicine ini, harus dilakukan pemeriksaan yang sangat detil dulu, supaya diagnosa bisa benar-benar tegak dulu, baru penanganan dilakukan. Dokter menjadi tidak mau memberikan tindakan darurat untuk memperpanjang nyawa, tetapi justru melakukan seluruh tes laboratorium supaya diagnosa tegak. Bagus kan? Iya bagus, tetapi dalam kondisi darurat, nyawa pasien selalu berada pada kondisi terancam. Dengan demikian, kondisi pasien menjadi semakin terancam karena dokter tidak mau melakukan tindakan kedaruratan, lha kalau dilakukan tindakan kedaruratan nanti pasiennya mati, dokter yang dituntut. 

Dengan keluarnya keputusan tersebut, sedikit-sedikit pasien akan diberikan surat informed consent dan diminta membeli materai Rp 6.000. Memang ini bagus, tapi mungkin bahkan untuk tindakan sederhana yang tidak membahayakan jiwa (misal tambal gigi) tapi bisa menimbulkan tuntutan hukum di kemudian hari juga akan diberikan informed consent. Dokter dan dokter gigi akan lebih menjadi sangat hati-hati dalam mengambil tindakan, yang mana ini akan merugikan pasien.

Belum lagi saat ini MKDKI tidak 'dianggap' lagi dalam menentukan dokter bersalah secara etik dan disiplin atau tidak. Sehingga, orang hukum bisa menyatakan dokter bersalah hanya berdasar KUHP, bukan berdasar ilmu dan prosedur kedokteran yang berlaku. Luar biasa! Lantas, apa gunanya dibentuk MKDKI? Lantas untuk apa dibuat UU Praktik Kedokteran jika pada akhirnya dokter dapat dijerat dengan pasal pembunuhan jika pasiennya meninggal dalam proses perawatan yang sesuai prosedur?

****

Sedemikian mudahnya menjadi dokter dan dokter gigi. Biaya kuliah di kedokteran dan kedokteran gigi berkisar Rp 15.000.000-Rp 300.000.000 dari awal hingga selesai (Rp 25.000.000 adalah biaya termurah kuliah di kedokteran gigi, biaya belum termasuk uang kos, uang bayarin pasien, bayarin obat pasien, beli alat dll, jika diambah biaya ko-ass (bayar pasien dan beli alat), mungkin ditambah Rp 10.000.000). Dengan biaya sekian, jika memang ingin kaya sejak awalnya, sebaiknya jangan investasikan dana tersebut dengan menjadi dokter. Lebih baik digunakan untuk membuka usaha.

Pilihan menjadi dokter bukanlah pilihan yang linear untuk menjadi kaya. Jadi dokter jadi kaya bukanlah pilihan yang tepat. Banyak problem yang bakal menanti, mulai sejak kuliah bahkan hingga ketika sudah jadi dokter. Tulisan di atas hanya sebagian kecil saja problem yang mungkin dihadapi. Belum problem yang akan muncul ketika menghadapi pasien yang aneh-aneh, masalah ijin gangguan praktek, dan lain sebagainya. Menjadi dokter bukanlah karena keturunan, bukan karena kaya, bukan karena ingin kaya, bukan karena pintar lalu harus masuk kedokteran. Menjadi dokter, sebenarnya, adalah panggilan. Panggilan untuk rela terlunta-lunta dan dilunta-lunta. Rela dipersalahkan kalau pasien tidak sembuh, sementara sudah berjuang sesuai dengan kemampuan maksimal. Rela diolok-olok oleh pengobatan alternatif yang kadang metode pengobatannya non sense dan kadang malah lebih banyak menimbulkan malpraktek tetapi tidak pernah dituntut.

Menjadi dokter dan dokter gigi adalah.............sabar.
Maka, teruslah berjuang di jalan yang benar untuk tetap berpikiran 'menolong pasien'. Banyak hal yang harus dibenahi dari dunia kedokteran, sistem, hirarki, majelis etik dan disiplin, penyetaraan tarif. Dan itu adalah PR bagi dokter-dokter muda, yang katanya tidak pernah aktif berorganisasi karena sibuk kuliah. Mari bangun kembali kedokteran Indonesia. Tegakkan kembali kepala yang tertunduk lesu ini. Profesi kedokteran bukan profesi antagonis!

Apalah daya menjadi dokter/dokter gigi jika kebahagiaan terbesar hanya melihat pasien sembuh #doktermahapaatuh

Tulisan dari seorang calon dokter gigi yang belum lulus dan belum menikmati gemerlapnya-enaknya dunia luar. Jika tidak penting dan setengah curhat, harap diabaikan.