Senin, 01 Februari 2016

Tawan, Kreatifitas, dan Galaknya Indonesia

Orang pintar di Indonesia itu cuma disia-siakan dan terbuang. Lebih baik kalau pintar pergi ke luar negeri saja

Kata-kata di atas sangat sering kita dengar. Bahwa menjadi orang pintar di Indonesia seolah-olah tidak berguna, karena seberapapun besar karya kita, sudah tentu karya kita akan terbuang dan tersia-siakan. 

I Wayan Sumardana atau yang biasa dipanggil sebagai Tawan, merupakan sosok fenomenal beberapa saat terakhir ini, disamping berita tentang Kopi Sianida Mirna. Eksoskeleton yang dibuatnya membuat Tawan dijuluki sebagai Iron Mannya Indonesia. Ketenarannya semakin memuncak, dan di puncak ketenarannya itu mulai banyak orang yang menyerang. Mulai dengan mengatakan bahwa karyanya itu palsu, karyanya tidak mungkin, dan lain sebagainya.

Tawan, merupakan salah satu cerminan ganasnya Indonesia. Kreatif sedikit, langsung mendapatkan kritikan yang pedas. Apalagi setelah tahu lulusan apa orang yang kreatif tersebut. Seperti halnya Tawan, yang awalnya disanjung karena kemampuannya, kemudian dijatuhkan sejatuh-jatuhnya oleh orang yang ingin disebut profesional dan ahli di bidangnya, hanya karena Tawan yang lulusan STM dan sudah pasti dianggap oleh si profesional tersebut tidak ahli di bidang tersebut.

Masyarakat profesional kita lebih terdidik mulutnya untuk berbicara daripada untuk berkarya. Tentu harus ada peralihan mindset dari berkata-kata menjadi berkarya. Sejujurnya, Indonesia tidak kekurangan jumlah orang pintar, profesional, dan ahli di bidangnya. Sudah banyak universitas besar di Indonesia yang bisa menghasilkan lulusan yang sudah pasti pro di bidangnya. Yang menjadi kendala adalah, mereka dididik untuk sekedar menjadi kritis. Ya, kritis terhadap karya orang lain, tapi tidak pernah kritis terhadap keprihatinan di lingkungan di sekitarnya, sehingga hanya mampu berkata-kata, berucap, menghujat, tanpa punya karya yang benar-benar nyata, walaupun sederhana. Jangankan karya, mungkin solusi saja tidak pernah terpikirkan. Yang ada di otaknya hanyalah 'karya orang lain itu tidak mungkin, mustahil, hoax. Pemikiran saya yang paling oke!'.

Jangan heran ketika banyak orang yang dianggap 'profesional' dan 'ahli dibidangnya' kemudian mencemooh orang yang memiliki keterbatasan (pendidikan rendah) namun bisa menciptakan suatu hal yang berguna. Lebih berdaya guna mana? 'Profesional' yang hanya bisa mengkritisi dan menghabisi karya orang lain, atau orang berpendidikan rendah tapi bisa menghasilkan karya yang berguna?

Masyarakat kita juga lupa, bahwa mobil yang dapat melaju 220 km/jam disusun atas pesawat-pesawat sederhana. Kita lupa bahwa hal yang rumit ada dan selalu didahului oleh hal yang sederhana. Iron Man yang sedemikian rumit juga disusun dari hal yang sederhana. Segala sesuatu yang otomatis, pasti didahului dengan konsep manual. Tidak lepas dari budaya instan dan suka yang instan, masyarakat kita akan mudah mencemooh jika hal sederhana diciptakan. Masyarakat kita terlanjur menginginkan suatu hal yang besar, bombastis, canggih, dan mencengangkan. Tetapi kita lupa, bahwa kita harus memulai dari nol, dari hal yang kecil. Bagaimana bisa berkembang menjadi hal yang besar jika hal-hal yang kecil saja cenderung terus menerus dicemooh, dijatuhkan, dan tidak dianggap? Bukankah lebih baik membantu mengembangkan yang sudah ada daripada sekedar mengkritik, mencemooh, menjatuhkan jika memang kita ada dan ahli di bidang tersebut?

Kita juga terlalu sering membandingkan Indonesia dengan negara lain. Ini lho, itu lho, di sana lebih bagus, lebih gini, lha di Indonesia?'. Bagus sih membandingkan itu, tapi kalau sekedar membandingkan apa sih esensinya? Bukankah lebih baik membandingkan dan membawa perbandingan tersebut ke konteks yang lebih dalam lagi? Bagaimana masyarakat disana dan masyarakat Indonesia. Bagaimana kondisi sosial ekonominya. Bagaimana tindakan pendahuluan yang sudah dilaksanakan, dan sejauh mana itu berguna. Kontekstualkah dengan kondisi Indonesia saat ini. Jika tidak kontekstual, bagaimana menjadikannya kontekstual. 

Indonesia mungkin terlalu ganas dan terlalu banyak kritikus. Para generasi muda saat ini tidak hanya dituntut untuk memiliki idealisme dalam bidangnya, namun juga harus realistis terhadap kondisi sekitarnya. PR bagi universitas selain menghasilkan generasi yang mencipta bukan menghamba, juga harus mengajari lulusannya untuk rendah hati dan mau bekerja sama dengan lulusan lainnya (Vokasi, STM, profesional, lulusan SD, SMP, SMA) untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya guna bagi masyarakat. Bukan sekedar hanya mengkritisi dan menjatuhkan, tetapi juga mampu menciptakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar