Kamis, 06 Maret 2014

Negara Ini, Republik Kucing (Lanjutan Cerita Gugatan Asu)

Asu yang berkuasa mulai turun pamor. Selain kemampuannya berkampanye mulai hilang, ditambah lagi dengan maraknya pemberitahuan bahwa asu-asu yang berkuasa baru saja mendapatkan gelar pendidikan yang palsu. Tidak sah! Mulai dari Siberian Husky sampai anjing kampung buluk yang naik kasta sekarang harus turun kasta lagi. Kali ini kalah dengan kucing yang pamornya lagi naik.

Kucing-kucing itu mulai menguasai media massa dari berbagai sisi. Mengundang keprihatinan tersendiri, membentuk dua kongsi partai yang berbeda: Partai Asu dan Partai Kucing. Beritanya menyeruak sampai media massa milik manusia. Hari-hari manusia pun mulai dipenuhi oleh kucing-kucing. Isu yang diangkat kucing-kucing ini adalah 9 rekannya yang mati ditembak tepat di kepalanya.

Asu-asu yang harus 'lengser keprabon' karena berbagai kasus pun, termasuk pelanggaran HAA (Hak Asasi Asu) karena telah menyengsarakan banyak asu lainnya, membuka percakapan dengan kucing-kucing yang mulai naik daun. Barangkali strateginya bisa dicontoh untuk mengembangkan partai asu yang sudah mulai tumbang.

"Cing kucing...", seekor asu mantan ketua DPR Perasuan membuka percakapan
"Ada apa njing lu manggil-manggil gue?"
"Kamu kok bisa naik daun to cing? Melejit dengan cepatnya perolehan suaramu."
"Kamu pasti nilep dana di Bank ya? Atau pakai calon-calon yang kurang 'qualified' tapi terkenal?" Sambung seekor asu yang mantan sekretaris kabinet
"Hush! Kamu itu diem dulu, biar si kucing ini menjelaskan", Bentak asu mantan ketua DPR Perasuan.
"Ya gampang toh saudaraku sekalian", jawab si kucing ketua umum partai dengan tenang, gagah, tapi pongah.

Asu-asu yang hadir disitu, termasuk yang sekedar lewat kemudian mengalihkan perhatiannya ke si kucing, yang hanya ditemani beberapa 'bodyguard' tapi nampak gagah berani: karena di radius 1 km ada kucing sniper yang siap menembak kepala asu-asu yang membahayakan jiwa kucing-kucing.

"Aku tinggal memanfaatkan Hak Asasi Kucing saja", Jawab kucing itu singkat.

Beberapa asu yang mendengar jawaban itu melengos pergi karena menganggap jawaban itu tidak bermutu. Sebagian lagi nyeletuk.

"Ah, jawaban apa itu, nggak mutu!!" Celetuk seekor asu.

Dan sebuah peluru dari sniper yang nun jauh melesat menembus kepala asu tersebut sampai pecah.
Semua asu terdiam, terhenyak, sementara si kucing mulai angkat bicara lagi.

"Nah, seperti itulah aku memanfaatkan posisiku", Kucing menjelaskan dengan tenang, pongah, dan tatapan mata yang licik.
"Manusia mulai menyayangi kaum kami karena kami dianggap lebih imut-imut dan menggemaskan daripada kalian asu-asu yang bodoh"

Suasana menegang. Wajah asu-asu dari ketakutan menjadi geram, tapi tetap tidak berani beranjak dari posisinya.

"Tapi tetap ada manusia yang membenci kami, sekalipun jumlahnya sedikit."
"Lalu mereka yang membenci kami menembak kepala rekan-rekan kami. Dan yah, seperti biasanya. Kami tinggal mengadu domba antara yang senang dengan kami dan benci kepada kami."

"Yang senang dengan kami akan melaporkan yang benci kepada kami. Alamiah. Kami mencuri ikan, kami yang menikmati, manusia yang benci, lalu manusia juga yang berkelahi sendiri."
"Tapi mencuri ikan itu bukan cuma perkara mencuri, itu melanggar HAM. Hak Asasi Manusia untuk makan!!", gugat seekor asu dengan berani. Rupanya ia juga turut terlibat dalam masalah HAM yang diributkan golongan manusia-manusia akhir-akhir ini.


Sebuah peluru kembali menembus kepala asu yang barusan bicara tadi. Peluru lengkap dengan arsen rupanya.

"Begitulah kami bisa naik pamor", Kucing melanjutkan bicaranya.
"Bagaimana mungkin kalian bisa naik pamor hanya dengan menggugat Hak Asasi Kucing saja? Sementara juragan kami, pendahulu-pendahulu kami yang sudah mati lebih dulu karena pelanggaran HAM tidak ada yang mengurusi?" Seekor asu dengan berani angkat bicara.
"Ya, bahkan KKN di kalangan manusia masih merajalela, masih sempat-sempatnya kalian bisa menyelipkan isu itu...."
"...Karena keimutan dan seolah-olah kepolosan kami. Kami punya otak yang lebih cerdas dan lebih strategis daripada kalian" Kucing memotong omongan asu-asu yang kemudian kepalanya tertembus peluru panas dari sniper itu.
"Ya, karena kami mampu mengendalikan pemikiran manusia yang mulai mudah terstir dengan binatang. Karena kami agen-agen terpilih."

Setelah berbicara demikian, kucing-kucing itu segera pergi dan bersiap menduduki kursi tertinggi dari segala kursi. Asu-asu yang tertinggal disitu menggonggong keras-keras, tanda kekalahan mereka. Sebagian kemudian dijebloskan ke penjara, sebagian dihilangkan dan mayatnya tergeletak di pos yang tidak dijaga, sebagian lagi ditembak dari jauh. Sebagian kecil yang selamat karena badannya kecil dan mampu menyamar sebagai kucing.

Sejak saat itu hingga beberapa lama kemudian, seluruh surat kabar memuat berita tentang kucing dan kemenangan kucing. Manusia menjadi budah kucing, bahkan raja-presiden-ratu-perdana mentri pun menjadi budak kucing.

Kucing menguasai dunia, menguasai akal sehat. Negri ini negri kucing!

****

Tulisan ini untuk negara Indonesia yang mulai kebablasan dan kehilangan arah, dimana matinya 9 ekor kucing karena ditembak menjadi lebih penting daripada kasus korupsi besar yang sedang hangat beberapa saat ini, bahkan lebih besar daripada matinya berjuta-juta orang karena pelanggaran HAM dari masa 1965-1998. Masyarakat Indonesia saat ini tengah distir oleh kucing. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan konyol semacam "Ya kalau kepalamu yang ditembak, bagaimana?" Tunggu, pertanyaan seperti itu tentu tidak perlu dijawab, karena kalau kepala kita ditembak, urusannya dengan hukum dan HAM, dan sudah tentu lebih berat daripada hukuman untuk membunuh seekor kucing. Harkat dan martabat manusia tidak dapat disamakan dengan seekor kucing, atau binatang jenis apapun, sepandai-pandai binatang tersebut.
Ayolah, ada banyak hal yang bisa dipikirkan daripada pikiran kita habis digunakan untuk memikirkan kucing yang ditembak. Kita terlalu banyak ikut-ikutan dengan negara luar: ada kekerasan dengan binatang sedikit-sedikit dilaporkan. Tapi ikut-ikutan kita adalah kebablasan, karena kemudian semua media massa menyorot kesana, dan membuat kita benar-benar lupa bahwa selalu ada kasus besar yang disembunyikan dibalik munculnya kasus-kasus kecil yang tidak masuk akal.
Marilah meninggalkan segala obrolan tentang kucing ini. Ini hal kecil, lebih kecil daripada kasus-kasus lain yang lebih layak untuk kita pikirkan: perilaku kaum muda yang kebablasan hingga pelanggaran HAM yang pernah terjadi di bumi ini. Masihkah pemikiran kita dikendalikan binatang? Ataukah akal sehat kita mulai hilang karena memang kita sudah benar-benar menjadi binatang (jalang)?
Cukup sudah bangsa ini dengan kekonyolannya: capres dengan gelar yang dianggap 'palsu', advokat yang omong sekenanya, politikus yang sekenanya sekali dalam berpikiran, dan kasus-kasus lainnya. Saatnya kembali ke akal sehat yang benar-benar sehat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar