Senin, 28 Januari 2013

Menjadi Dicintai dengan Belajar Berbahasa Daerah

Ketika kita telah bekerja dan secara kebetulan pekerjaan kita berhubungan dengan manusia lainnya, maka kata kunci hubungan tersebut adalah bahasa. Sangat mungkin terjadi dewasa ini bahwa setiap pekerjaan pasti akan bersinggungan dengan banyak manusia di sekitar kita, baik itu rekan kerja maupun klien (pelanggan/costumer) kita.
Bahasa dapat secara jelas membuat hubungan personal dengan manusia di sekitar kita menjadi lebih intim dan lebih baik. Sangat jarang kita temui, terutama di Indonesia ini, orang-orang yang hanya mengandalkan gestur untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Tentu, yang pertama kali diucapkan ketika bertemu dengan manusia lainnya adalah susunan bahasa yang membentuk kalimat dan pada akhirnya terjadi percakapan di dalamnya (uopoooohhh >,,<).
Bahasa persatuan di Indonesia adalah Bahasa Indonesia. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menguasai bahasa Indonesia terlebih dahulu dibandingkan dengan menguasai bahasa asing. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia akan bekerja toh juga di dalam negri saja, terkecuali jika memang sudah sejak awal orang tuanya menginginkan anaknya untuk berjuang di luar negri saja. 
Berbahasa Indonesia dengan fasih, baik, dan benar saja sebenarnya sudah cukup untuk menjalin hubungan dengan manusia di sekitar kita, termasuk klien kita. Namun, hubungan kita dengan klien akan menjadi semakin dekat tatkala kita mampu berbahasa daerah. Tentunya, bahasa daerah yang kita kuasai adalah bahasa yang berlaku di daerah yang kita tinggali/tempat kita bekerja saat itu. Pernah mendengar transmigran dari Gunungkidul, Yogyakarta yang mampu dengan fasih berbicara bahasa Padang karena mereka tinggal di daerah Padang? Belajar bahasa daerah tempat kita bekerja sebenarnya adalah untuk menjalin hubungan persaudaraan yang lebih dekat dengan masyarakat sekitar yang pada akhirnya akan menghilangkan eksklusifitas kedaerahan. 
Tentunya Anda pernah melihat, ketika di daerah Solo dan sekitarnya, hubungan antara pembeli dan pedagang akan menjadi lebih cair dan bersahabat ketika kedua komponen pasar tersebut berbicara menggunakan bahasa Jawa -lebih baiknya menggunakan Bahasa Jawa Krama. Demikian juga hubungan antara diri kita dengan klien ketika kita menggunakan bahasa daerah, maka hubungan pun akan semakin cair. Dalam hubungan dengan sahabat, kolega, dan teman sepermainan dalam forum non resmi pun akan lebih cair ketika menggunakan bahasa daerah. Apa yang terjadi ketika pembicaraan dalam forum non resmi menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang kaku? Garing bukan?
Memang ada sebagian besar orang yang beranggapan bahwa dengan mendewakan bahasa daerah adalah suatu tindakan menuju eksklusifitas. Saya berharap bahwa orang yang beranggapan demikian adalah orang dengan otak dan mental yang dangkal, mengalami retardasi kapasitas otak, dan putus asa karena kesusahan dalam belajar bahasa daerah dan lambat dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Padahal, ketika semua dapat dibawa dalam suasana akrab, maka segalanya akan lebih baik. Meskipun pada akhirnya tidak mungkin kita berbicara kepada seseorang dari Batak yang baru kita kenal dan kemudian berbicara dalam bahasa Batak. Tentu akan kita buka dengan bahasa Indonesia terlebih dahulu, dan sebagai teh hangatnya kita baru menggunakan bahasa Batak untuk lebih mempererat hubungan.
Saya berasal dari Jogja dan saya terbiasa berbicara dengan bahasa Jawa yang sangat halus, sopan, dan jauh dari kata-kata kotor. Saya memaki dengan kata "Asu" (Anjing) saja sudah dilihat orang di sekitar saya dengan pandangan jijik. Begitu juga ketika saya memaki dengan kata "Bajigur, Asemik, Gundhulmu, dll". 2,5 tahun saya berada di Surabaya, meskipun sama-sama di Jawa namun memiliki bahasa yang lebih keras, dan saya mulai beradaptasi. Tahun pertama, penolakan memang datang dari diri saya. Saya tidak mengakui adanya kata "koen" sebagai kata ganti "kamu" dalam bahasa jawa suroboyonan. Hingga suatu saat akhirnya, apa yang saya ucapkan menjadi bahan tertawaan karena logatnya yang 'medhok' dan susah diterima artinya. Akhirnya, saya memberanikan diri belajar bahasa Jawa Suroboyonan yang memang saya sadari cukup kasar bagi saya, namun hingga saat ini membuat hubungan saya dengan orang di sekitar saya, bahkan dengan pedagang di pasar menjadi lebih dekat dan lebih intim. Dan saat ini, saya sedang belajar dan mendalami Bahasa Madura dan Bahasa Jawa Ngapak-Ngapak.
Kata kuncinya bukan pada ketakutan eksklusifitas, namun lebih bagaimana diri kita mampu beradaptasi dengan lingkungan kita. Bukan lingkungan yang mesti beradaptasi dengan diri kita. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, namun bahasa daerah dan budaya di daerah yang jumlahnya bejibun ini juga perlu kita jaga dan perlu kita wariskan bersama-sama. Ketidakmauan beradaptasi terhadap budaya dan bahasa sekitar itulah sekiranya yang justru akan membawa perpecahan dan konflik horizontal di daerah-daerah. Karena perbedaan bukan untuk diolok-olok, namun untuk dipahami dan dilaksanakan bersama. Karena ketika gula pasir mampu menyatu dengan air bening, akan terlihat indah dan kompak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar