Kamis, 30 September 2010

JOGJAKARTA

Pulang ke kotamu ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna. Musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri ditelan deru kotamu.......

Mungkin ini adalah potongan lirik lagu 'Jogjakarta' karya Katon Bagaskara. Mungkin juga Mas Katon Bagaskara merasa marah dan terhina karena lagunya saya susun sedemikian rupa sehingga menjadi carut marut tidak karuan. Atau dalam Bahasa Jawanya Mawut.
Bukan sebuah kata yang membuat ironi berlebihan jika Jogjakarta memang sebuah kota yang layak untuk dirindukan. Setidaknya ini yang saya rasakan saat ini, setelah lebih kurang hampir 2 bulan saya merantau di kota dengan kultur yang berbalik 90 derajat : Surabaya. Saya memang merasa mulai nyaman berada di Surabaya, tempat perantauan yang benar-benar baru dan memulai semuanya dari 0 %. Dulu hawanya yang panas, sekarang telah berubah menjadi sejuk. Dan entah apa namanya kalau udara di Surabaya sejuk, maka udara di Jogja dingin. Konklusinya udara di Malang sama dengan membeku. Opo tumon?
Tapi, saya masih merasa bahwa hati saya tertinggal di Jogja. Hati disini dalam tanda kutip (kalau hati saya beneran ketinggalan di Jogja, makan gorengan dikit aja udah mati). Ada banyak sekali kenangan yang tak bisa saya lupakan. Mulai sejak saya dilahirkan hingga saya sekarang berdiri di depan kampus kebanggaan saya. Ada semacam ikatan batin antara aku dan kotaku yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seakan ingin kembali lagi ke Jogja, kemudian menikmati canda tawa bersama teman-temanku di Angkringan Kang Ali, Non Stop Jogja Group, Burjo Jero, Sengsu Pak Santo, dan lain sebagainya yang tak bisa kutemui di tempat ini.
Bahkan, dengan lantang, bila saat ini saya berada di Jogja dan rela membayar saya dengan 1 truk emas batangan dan memindahkan segala hak milik saya ke Belanda dan meminta saya untuk meninggalkan Jogja tanpa kembali lagi, maka saya akan menolak semuanya itu secara mentah-mentah dan menampar orang tersebut. Bagi saya, meninggalkan Jogja sama halnya dengan meninggalkan masa lalu saya. Dan dengan meninggalkan masa lalu saya, maka saya sama saja berjalan tanpa arah dengan otak saya yang kosong. Dan tanpa kita sadari, masa lalu membentu masa depan kita. Artinya, ketika masa lalu itu ditarik dari dalam diri saya, saya harus merelakan masa depan saya hilang.
Jogja, yang jelas saya tidak ingin kehilanganmu tentang masa laluku. Biarlah semuanya kau simpan rapat-rapat. Terserah kau mau menyimpan. Entah di dalam Kraton, Alun-alun Kidul, Gudeg Mbarek, Resto Mang Engking, Sengsu Pak Santo, Warung Burjo dan Nonstopan, Angkringan Kang Ali, Angkringan Lek Man, SMA Kolese De Britto, SMP Stella Duce, TK SD Tarakanita, Ambarukmo Plaza, Shapir Square, atau bahkan akan kau geletakkan begitu saja di Kilometer Nol lengkap dengan kemegahan Vredeburg dan Kantor Pos itu. Yang jelas, suatu saat aku akan kembali ke kota ini dan akan bernostalgi sepanjang masa dengan segala kenangan kecil namun indah yang pernah kutitipkan di kotaku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar