Selasa, 27 September 2011

PT KAI Berbenah, Bisa?

Semenjak beberapa hari menjelang lebaran, hingga saat ini stasiun-stasiun besar, terutama di Jawa mengalami perubahan yang cukup signifikan. Sistemnya hampir dibuat seperti bandara. Pengantar dilarang masuk dan tidak diperkenankan mengantar sanak saudaranya sampai masuk ke dalam gerbong kereta. Memang ini selangkah lebih maju karena dengan adanya peraturan baru ini, maka resiko kecopetan dan penjambretan akan lebih diminimalisir. Informasi yang tertulis di web resmi PT KAI pun nampaknya juga telah menunjukkan bahwa sistem ini akan terus diterapkan, terutama untuk mendukung program yang akan dijalankan oleh PT KAI : Tidak ada lagi penumpang berdiri di semua kereta. Semudah yang dibayangkankah perubahan ini?
Sebenarnya ada sebuah hal kecil, mendetail, namun vital yang sangat perlu untuk dilakukan perubahan dengan segera. Masalah reservasi tiket. Lebih kurang, yang saya tangkap selama ini, ada sebuah hal kecil yang selalu mengganjal dalam tiketing PT Kereta Api, terutama untuk sistem reservasi tiket. Tentu bukan masalah penjualan tiket di ruang reservasi yang setengah-setengah, loket yang buka minimalis. Karena masalah tersebut merupakan masalah klasik, yang sulit dihentikan bila tidak mengganti sumber daya manusianya. Permasalahan yang saya angkat kali ini adalah masalah kuota tiket. Kereta api, dalam sistem reservasinya, tiap kota memiliki kuota tertentu yang dapat diambil oleh tiap kota pemberangkatan. Jadi misalkan sebuah KA Ekspress Sancaka Surabaya-Jogja. Lebih kurang kapasitas kereta adalah 400 penumpang. Surabaya dapat kuota 90 penumpang, Mojokerto 90 penumpang, Nganjuk 90 penumpang, 90 penumpang Madiun, dan sisanya dijual hari H. Lebih kurang, pembagian yang saya rasakan demikian, dan itu jumlahnya stagnan. Artinya, ketika kebutuhan di Surabaya meningkat, tidak serta merta kuota untuk Surabaya ditambah dengan mengambil kota dari kota yang sepi pemberangkatannya, misalkan Madiun (karena Madiun-Jogja sudah ada Madiun Jaya Ekspress). 
Sistem seperti diatas itu benar-benar merugikan bagi PT KAI. Bila dipikir-pikir, setiap kali akan reservasi tiket selalu sudah kosong ketika di cek di LCD TV di ruang reservasi, artinya PT KAI untung besar dalam setiap tripnya. Begitu juga ketika akan membeli ke loket. Tapi, begitu naik ke kereta bila kereta sudah berangkat, maka akan nampak sangat banyak kursi yang kosong. Tapi, ternyata PT KAI tetap dihitung merugi. Seandainya sistem tiketing bisa dirubah dengan mengikuti teori demand and suply. Seperti PO Rosalia Indah. PO ini meletakkan kuota terbesar untuk kota pemberangkatan awal dengan tujuan terjauh. Purwokerto dan Surabaya mendapatkan kuota terbesar. Jogja, sebagai kota yang cukup ramai transportasinya, hanya diberi kuota tidak sampai 10 untuk tiap bis. Ketika Purwokerto memerlukan kuota lebih, maka, kuota Jogja dan Solo bisa saja di-nol-kan, artinya tidak ada jatah. Dengan begitu kerugian bisa lebih diminimalisir lagi. Jadi, PT KAI bisa menambah kuota untuk Jogja dan Solo, ketika kebutuhan masih tinggi. Yang terjadi saat ini adalah kebutuhan tinggi, namun kuota dari daerah tidak kunjung dikurangi, meskipun di daerah itu sepi. Sebagai akibatnya, tiket daerah yang tidak terjual, dijual pada hari H, konsumen yang membeli pun juga pasti sedikit, karena penumpang kereta api tidak suka yang tidak pasti. Jadi, lebih baik beli tiket sebelum hari H.
Dengan adanya sistem seperti yang saya harapkan ini, kerugian PT KAI bisa lebih diminimalisir, dan jumlah penumpang yang dapat terangkut oleh kereta api akan semakin banyak. Okupansi baik, maka tentu keuntungan yang diperoleh maksimal. Maju terus untuk perkeretaapian Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar