REKAYASA LALU LINTAS SEBAGAI SOLUSI JANGKA PENDEK
Solusi jangka pendek ini hanya bertujuan untuk mengurangi
kemacetan sementara saja, atau bahkan hanya memindahkan kemacetan saja.
Biayanya relatif lebih murah daripada solusi jangka menengah dan solusi jangka
pendek (dan ironisnya, biasanya hanya ini yang pemerintah daerah bisa lakukan
untuk sekedar mengatasi kemacetan sesaat, soalnya murah! Miris!).
Ada dua solusi. Pertama, mengatur persimpangan jalan. Kita
sebagai orang Jogja Cuma tau kalau lampu merah di persimpangan itu Cuma 1. Jadi
kalau hijau, ya kita jalan grudugan gitu. Nah, tipikal pengendara inilah yang
akan bingung dan sering kena tilang kalau mengemudi di Jakarta maupun di
Surabaya. Di Surabaya, di beberapa persimpangan yang tiap simpangnya ada 3
lajur, ada 3 lampu merah disitu. Jadi tiap lajur ada 1 lampu merah. Jika lampu
merah paling kiri yang nyala, maka yang boleh berjalan hanya lajur kiri yang
akan berbelok ke kiri. Demikian jika lampu merah tengah dan kanan sendiri
menyala hijau.
Untuk mempraktekkan saran pertama ini cukup sulit juga.
Misalkan sebuah pertigaan. Arah yang mungkin diambil hanya belok kiri/kanan dan
lurus. Setidaknya harus ada 2 lajur dalam setiap persimpangan. Jadi, perlakuan
untuk yang akan jalan lurus dan berbelok akan berbeda menyesuaikan lampu merah
di masing-masing lajur (biasanya yang lampu hijaunya lama diprioritaskan untuk
arah yang sering macet panjang karena lampu merah). Demikian juga dengan
perempatan. Kalau perempatan, ada 3 arah yang akan dituju: lurus, belok kiri,
dan belok kanan.
Supaya tidak bingung, saya buat realnya saja. Saya ambil
contoh perempatan Kentungan. Saat ini, dari timur (ringroad), barat (ringroad),
dan selatan (cemara 7/dari UGM) sudah dibuat 3 lajur. Tinggal dari arah utara
(kaliurang atas) saja yang belum dibuat 3 lajur. Nah, ketika semuanya sudah
dibuat 3 lajur, maka pengaturan persimpangan jalan ini dapat dilakukan. Jadi,
bisa dibuat demikian: saat dari arah utara ke selatan (dari Kaliurang ke UGM)
lampu menjala hijau, pada saat yang sama juga dari arah selatan ke utara,
selatan ke barat (UGM ke Monjali), dan utara ke timur (kaliurang ke Gejayan)
juga menyala hijau. Saat keempat arah tersebut menyala merah, kemudian dari
arah selatan ke timur, utara ke barat, timur ke selatan, dan barat ke utara
lampu menyala hijau. Kemudian yang terakhir adalah dari timur ke barat, barat
ke timur menyala hijau, dan seterusnya. Lebih kurang demikian ilustrasinya
supaya lebih paham. Sehingga kemacetan karena lampu lalu lintas yang terlalu
lama dapat dihindari.
Cara kedua adalah dengan memberlakukan jalan 1 arah.
Memberlakukan jalan 1 arah ini endingnya sama dengan memperluas penampang
jalan. Dengan adanya jalan 1 arah, maka akan mengurangi jumlah kendaraan yang
lewat. Tapi, resikonya, ketika menerapkan jalan 1 arah ini pejabat berwenang harus
mempersiapkan jalan pintas dan solusi ini hanya memindahkan kemacetan saja.
Dengan adanya jalan pintas, warga kampung harus siap jika tiba-tiba jalan
kompleksnya jadi ramai dilewati kendaraan.
Yang terjadi adalah seringnya jalur satu arah ini lebih sering
hanya memindahkan kemacetan saja. Jalan yang dibuat satu arah memang jadi lebih
lancar, tapi kemudian jalan lain di dekatnya jadi lebih padat/macet karena ada
pengalihan arus. Contoh nyatanya bundaran UGM yang saat ini ditutup dari arah
timur ke baratnya. Memang jadi tidak macet, tapi kemudian ruas Jl Cik Di Tiro
(Panti Rapih) menjadi sangat padat cenderung macet.
Ketika, membuat devider pada jalan yang memiliki 2 atau
lebih lajur. Kadang, jalan ini macet karena orang menyeberang, belok atau putar
balik sembarangan. Ketika diberikan devider tentu tindakan warga yang demikian
itu akan berkurang drastis. Sehingga jalanan tidak lagi macet. Tetapi,
kelemahannya adalah lagi-lagi jalan-jalan alternatif atau jalan di pedesaan
menjadi lebih ramai dilalui kendaraan. Sekaligus juga bakal banyak beton
devider yang kemudian dirusak supaya bisa putar balik/ menyeberang dan muncul
pekerjaan baru: Pak Ogah.
Penerapan solusi jangka pendek sebenarnya merupakan cerminan
kekalahan pemerintah secara telak. Kenapa pemerintah salah? Kenapa harus
pemerintah yang salah? Padahal solusinya seharusnya kita sendiri bisa
menciptakan? Seperti misalnya naik angkutan umum, berjalan kaki, naik sepeda,
dll dll. Ya, kita bisa menciptakan solusi kita sendiri. Tapi tanpa ada campur
tangan pemerintah, berapa lama kita bisa bertahan dengan solusi kita sendiri?
Ibarat kita berak tanpa ada kloset atau WC, sehingga kita yang sudah biasa
berak di kloset yang bersih harus berak di kebun atau di pinggir sungai. Berapa
lama kita mampu bertahan? Demikian juga solusi. Kita jalan kaki dan bersepeda,
namun lingkungan jalan sudah tidak aman dan nyaman: jalur sepeda diserobot
kendaraan bermotor, trotoar sudah mulai tidak ada atau beralih fungsi jadi ‘jalur
alternatif’ pengendara motor. Seberapa kuat pun mental kita, sepertinya jika
penyedia fasilitas ini tidak sadar dengan fungsinya maka lama kelamaan
keinginan dan tekad kuat kita akan berubah.
Kekalahan pemerintah mana yang dimaksudkan? Ya, kita ambil
contoh Jl C Simandjuntak. Tahun 2014, jalan tersebut masih 2 arah. Tapi, hanya
karena alasan ‘jalan dijadikan tempat parkir bagi usaha di sekitar jalan’,
kemudian jalan C Simandjuntak menjadi 1 arah ke selatan saja. Hal ini sudah
menunjukkan kekalahan pemerintah terhadap pengusaha. Padahal, jelas tertuang
dalam peraturan (pasal berapa saya tidak tahu, bagi yang tahu monggo) bahwa
tiap ijin usaha yang diberikan harus
mempertimbangkan segala jenis dampak lingkungan. Tidak hanya berhenti pada
dampak karena limbahnya, tapi kalau tidak salah, saat ini juga harus jelas
dampak terhadap lalu lintas yang ditimbulkan dari usaha tersebut. Seyogyanya
juga, setiap tempat usaha menyediakan tempat parkir yang layak bagi
konsumennya, tanpa harus memakan badan jalan. Tapi namanya manusia yak, yang
penting untung banyak. Urusan sama pemerintah bisa diatasi bareng-bareng.
Kekalahan kedua sekaligus kesalahan terbesar pemerintah
adalah: memilih untuk diam dalam menghadapi kemacetan Yogyakarta yang kian hari
kian mengerikan. Memilih untuk diam terhadap suatu masalah, adalah kesalahan
terbesar. ‘Diam kan berarti berpikir!’. Pertanyaannya, akan berapa lama lagi
diam seperti ini? Sampai ruas jalan di Jogja macet total berkilo-kilo meter?
Sampai tingkah laku pengendara kendaraan bermotor seperti koboi? Ngawur tidak
beraturan?
Semua solusi pasti ada resiko, dan sepertinya solusi untuk
membangun transportasi umum adalah yang terbaik. Pemerintah tidak lagi boleh
hanya memikirkan perutnya sendiri-sendiri. Tidak lagi boleh hanya memikirkan
untungnya apa untuk dirinya sendiri dalam mengambil keputusan. Sepertinya era
yang demikian ini di Yogyakarta harus segera diakhiri. Demi Yogyakarta yang
lebih baik.