Selasa, 01 Maret 2016

Dua ratus rupiah dan kesadaran

Malam ini saya berkesempatan nongkrong di sebuah toko waralaba yang menasional, dimana sebuah kebijakan membayar tas kresek sudah dilaksanakan.

Saya masuk, beli sebotol air mineral dingin, kemudian duduk di kursi yang tersedia, sembari memandangi kasir. Melihat aktivitas jual beli. Timer di HP saya nyalakan, 5 menit saja cukup. Singkat cerita, dari pengamatan, dari 9 orang yang membeli berbagai macam barang dan berbagai jumlah, 5 diantaranya masih memilih membayar penggunaan kantong plastik. Sementara 4 sisanya tidak meminta kantong plastik. Dari 9 orang tersebut, jumlahnya beragam. Ada yang barang beliannya sedikit namun minta plastik, atau ada juga yang beliannya lumayan banyak tapi hanya ditenteng dengan tangan dan dimasukkan ke bagasi. Artinya, kebijakan yang telah diambil pemerintah ini ternyata tidak terkait dengan jumlah barang yang dibeli, kemampuan membeli masyarakat, dan usia. Yang nampak kaya pun juga ada yang tidak meminta kantong plastik. Yang tua dan muda pun juga ada yang meminta kantong plastik, ada yang tidak. Penelitian kecil ini mungkin tidak valid, karena tidak memenuhi teori penelitian. Lebih baik jika ada yang melihat secara lebih dalam lagi dan mengunakan metode penelitian yang memadai. Sekali lagi, ini hanya usil di tengah kengangguran semata.

Titik tumpu kegagalan berbagai peraturan adalah kesadaran masyarakat. Contoh kecil adalah penerapan peraturan kantong plastik berbayar. Tujuan utamanya bukan agar waralaba yang terkait tidak merugi karena harus mengeluarkan biaya ekstra untuk kantong sampah, tujuannya sederhana: untuk mengurangi jumlah kantong plastik. Peraturan ini ditetapkan resmi oleh pemerintah baru beberapa saat lalu, namun jauh sebelum itu, beberapa supermarket waralaba di Surabaya sudah melakukan kebijakan tersebut, dengan menambahkan beberapa persen dari total belanja jika meminta kantong plastik, dan mengurangi beberapa persen total belanja jika membawa tas sendiri (kalau tidak salah demikian, karena waktu itu pernah mencoba). Hasilnya? Nihil. Tetap lebih banyak yang minta kantong plastik daripada yang rela bersusah payah membawa kantong/tas sendiri dari rumah.

Kembali ke masalah kesadaran masyarakat. Sepertinya kesadaran tersebut menjadi hal yang sangat mahal dewasa ini. Rasa mampu justru lebih tinggi daripada kesadaran, ya kesadaran terhadap berbagai hal. Misalnya penggunaan kantong plastik. Rasa mampu untuk membayar kantong plastik senilai Rp 200,00 mengalahkan kesadaran kita bahwa plastik dapat merusak lingkungan dan susah diurai. Jawaban kan plastik yang digunakan saat ini mudah hancur. Oke, saya menyimpan cukup banyak tas plastik jenis tersebut dalam sebuah laci, dan membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk hancur. Hancur, bukan terurai (saya menyimpan dari awal 2012, dan baru hancur sekitar awal tahun 2014). Plastik, katanya, menjadi suatu material yang susah diurai. Dari anorganik harus bisa menjadi organik, dalam waktu sekian puluh tahun lamanya. Pengetahuan ini, semua orang pasti tahu. Kaya, miskin, tua, apalagi muda sudah pasti tahu. Tetapi kesadarannya itu yang tidak ada. Bukankah hal yang sangat mudah toh mengganti kantong plastik dengan tas ransel atau tas apapun yang dirasa cukup? Bagasi motor saat ini juga sudah cukup untuk menyimpan bayi usia 6 bulan. Jadi, apa lagi alasannya kalau bukan kesadaran? Ya, mungkin hati kita masih tertutup rasa malas. Malas buat susah sedikit. Jaman sudah enak kok, masak ya disuruh susah. 

Ini masih berbicara mengenai kantong plastik. Belum yang lainnya: lalu lintas, etika berkendara, peraturan di sekolah, kantor, tempat kuliah. Kemudian yang melanggar akan beramai-ramai teriak-teriak "Aparat penegak hukum tidak tegas dalam menjalankan hukumnya!", "Aparat tebang pilih!" dan lain sebagainya. Pokoknya selalu ada yang salah dari penegak hukum (pemerintah) ketika tidak ada kesadaran dari masyarakat. 

Bagaimana cara membentuk kesadaran? Sederhana, hanya satu kata. Pendidikan. Pendidikan di sekolah memang sudah diberikan. Namun perlu kita ingat, sekolah hanya 5-8 jam dalam sehari. Sementara 16-19 jam sisanya siswa bertemu dengan keluarga. Pendidikan di sekolah menjadi penting, namun lebih penting lagi pendidikan di kalangan keluarga. Simple, perilaku anak adalah meniru (sampai batasan usia tertentu). Orang tua kan sudah tahu, dan pasti sudah lebih sadar. Dengan mempraktekan kesadaran-kesadaran sederhana tersebut (belanja bawa kantong sendiri, taat lalu lintas, taat peraturan kantor, dll) setiap hari, sembari memberikan edukasi kepada anak-anaknya, maka kesadaran ini akan terbentuk sejak dini. Yang jadi masalah saat ini adalah orang tua yang tidak peduli pada apapun, menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap apapun di depan anaknya. 

Pendidikan saja cukup? Cukup. Kita selama ini memupuk kesadaran hanya dari kata 'jangan a, nanti b'. Padahal, lebih baik lagi, memupuk kesadaran dengan mengajarkan 'jangan a, nanti bakalan b c d e f g dan dampak langsungnya ke kamu adalah h i j k l'. Kita akan menjadi peduli, ketika bahaya tersebut langsung berimbas pada kehidupan kita. Masyarakat saat ini sudah peduli setan dengan kata-kata "kasihan nanti anak cucu kita yang akan merasakannya". Masyarakat kita saat ini adalah "yang penting aku bisa menikmati saat ini, yang penting bahagia". Maka, memberikan penjelasan dan larangan lengkap dengan akibat yang mungkin muncul akan menjadi pembelajaran yang baik dan membuat masyarakat berpikir ulang. Misalnya, banyaknya penggunaan kantong plastik itu bahaya, maka dilarang. Akibatnya bisa banyak, meningkatnya sampah plastik yang menumpuk di saluran. Nanti banjir, anak bapak bisa hilang keseret banjir, barang-barang yang sudah bapak beli bisa rusak berat kalau terendam banjir. Kalimat-kalimat yang nyata tersebut akan membuat orang berpikir: anak kesayangan hilang (kecuali kalangan orang tua yang cuma hobi bikin anak), barang yang dibeli dengan susah payah dan harganya mahal rusak karena banjir, dan harus ijin kerja membersihkan rumah sisa banjir dan lagi-lagi tidak dapat penghasilan. Begitu juga dengan hal lainnya.

Masyarakat kita memang rumit. Learning by doing katanya. Hobinya melanggar lampu lalu lintas, padahal peraturannya jelas. Baru sadar kalau sudah tewas karena kecelakaan waktu melanggar lampu lalu lintas.

Seminimalnya, yang sudah membaca tulisan sampah ini, mulailah dari diri sendiri. Jangan malas melakukan sebuah peraturan. Peraturan dibuat bukan oleh orang yang sedang tidur, namun orang yang sedang terbangun, dalam keadaan sadar, dan dibuat dengan alasan yang berdasar. Perkara ada intrik politik yang lainnya, yang namanya peraturan ketika sudah diputuskan berlaku, maka ya harus dilakukan. Dilakukan dengan sadar. Mari lebih sadar diri sendiri, demi Indonesia yang lebih baik.

Sadar kan kalau Indonesia bisa jadi lebih baik? Bagus lah kalau sadar, tinggal implementasinya saja