Selasa, 10 November 2015

Kita Bangga, Kita Lupa Berjuang

Sebuah renungan mengenang Hari Pahlawan 10 November 2015

.......
"Kamu berani sama saya, ha?!"
"Berani aja, orang jelas situ yang salah!"
"Saya keluarganya Polisi, Bapak saya punya jabatan yang penting di wilayah sini!"
"Haha, saya nggak takut, ayah saya juga seorang Militer dengan pangkat yang tinggi."
"Jadi kamu nantang saya?"
........

Sekeping percakapan yang nyaris selalu terdengar ketika ada peristiwa kecelakaan di jalan-jalan protokol, baik kota besar maupun kota kecil. Mulai dari Bapakku Jendral, Bapakku kapolsek, Ibuku punya jabatan di pengadilan setempat, Masku kepala preman kampung, bahkan sampai Bapakku polwan. Mobil-mobil pun segera ditempel informasi yang menyebutkan bahwa mobil tersebut adalah milik keluarga aparat beneran, atau yang seolah-olah miliknya aparat supaya ditakuti oleh sipil. Bukan perkara kecelakaan di jalannya yang akan dibahas dalam artikel ini.

Kita terkadang sangat bangga pada orangtua kita yang punya jabatan tinggi dalam suatu instansi. Bangga pada orangtua adalah sebuah keharusan, apapun pekerjaannya, apapun profesinya, apapun jabatannya. Namun, sayangnya kebanggaan tersebut sangat sering disalahartikan dalam berbagai kesempatan. Salah satu contohnya adalah potongan peristiwa kecelakaan di atas. Dan ironisnya, kebanyakan yang melakukan hal tersebut adalah anak-anak muda yang orangtuanya memiliki jabatan di instansi, entah itu sekedar kata-kata untuk menggertak, atau memang kenyataan yang memang demikian. Namun, dengan adanya perkataan demikian, hal tersebut sama saja menjadikan orang tua atau jabatan orang tua kita sebagai 'tumbal' kecerobohan kita.

Ya memang sering ketika ada orang tabrakan dan ternyata yang ditabrak adalah anak petinggi aparat, langsung datang berombongan bawahan-bawahan orangtuanya dan menghajar habis-habisan si penabrak. Namun, sekali lagi, bukan itu yang akan dibahas dalam artikel ini.

Sikap bangga terhadap orang tua adalah hal yang sangat wajar dan harus, saya tegaskan sekali lagi. Namun, menjadi bangga tetapi kemudian tidak berbuat apa-apa, alias mendompleng 'kekuatan' orang tua, adalah tindakan yang sangat tidak diharapkan sebagai generasi penerus bangsa. Ya, orang tua kita memang punya jabatan. Tapi perlu diingat pertanyaan satu ini: Lha kalau orang tuamu punya jabatan, kamu siapa? Apa iya kamu nanti akan bisa sama, atau lebih baik daripada orang tuamu ketika kamu terus-terusan mendompleng jabatan orang tua, tapi lupa mengembangkan diri sendiri?

Kadang, generasi muda lupa. Iya, memang bapaknya adalah petinggi suatu perusahaan, dan suatu saat akan dengan mudah memasukkan dirinya ke dalam perusahaannya tanpa tes. Sementara dirinya tidak memoles dirinya sendiri agar menjadi benar-benar pantas dan tidak memalukan orang tuanya, apalagi orang tuanya punya reputasi yang baik di perusahaan. Apakah bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin ketika dirinya akan didepak di kemudian hari setelah bapaknya pensiun dan terbukti bahwa dirinya adalah pribadi inkompeten? Sangat mungkin.

Dan masih sangat banyak contoh lagi. Orang tuanya petinggi aparat misalnya, tapi tingkah lakunya sama sekali jauh dari santun, seenaknya sendiri karena merasa bisa seenaknya, sekolah tidak benar, dlsb dlsb.

Kita sebagai generasi muda selalu lupa berjuang ketika sudah dihadapkan pada kemapanan. Tidak akan menjadi masalah ketika kemapanan tersebut diraih sendiri dengan kerja kerasnya. Akan menjadi masalah ketika sudah lupa berjuang karena merasa nyaman karena orangtuanya adalah petinggi. Artinya, akan terbentuk generasi muda yang kurang berjuang, ditambah lagi kultur keluarga yang kadang 'cul-culan' kalau dengan anak-anaknya, dengan alasan bapak sama ibu sibuk kerja, sehingga anak dibiarkan saja -sekolah ya syukur, nggak ya udah. Ada? Sedemikian banyaknya keluarga yang demikian.

Kita dengan gegap gempita meneriakkan bahwa hari ini adalah Hari Pahlawan dan selalu menggemakan bahwa penghormatan kepada Pahlawan adalah suatu keharusan. Ya, memang demikian. Pahlawan, baik yang sudah meninggal maupun saat ini masih berjuang menjalani sisa hidup, adalah orang yang sangat layak dihargai, dihormati, dan tidak dibuat sedih dengan kelakuan kalangan muda kita: foya-foya, bermental tempe, mudah menyerah, dan lain-lain.

Tidak saatnya lagi kita menggemakan kata-kata kepahlawanan, tetapi kitanya sendiri tidak bisa berjuang dengan sepenuh hati. Mungkin para pahlawan yang sudah tenang disana cuma akan 'mbatin': "Halah yo, rugi aku memperjuangkan Indonesia kalau kaum mudanya sekarang saja nglokro, mblakrak tidak jelas!"

Bagaimana caranya berjuang? Harus dengan demo koar-koar minta naik gaji, minta Jokowi turun? Berjuang tidak sesimple itu. Cobalah dengan cara yang lebih rumit lagi. Buat yang belum selesai kuliahnya, ya berjuanglah untuk menyelesaikan kuliahnya dan sesegera mungkin menyelesaikan skripsinya. Bagi yang belum dapat kerja, berjuanglah untuk bisa mendapatkan kerja, syukur-syukur bisa membuka lapangan pekerjaan. Bagi yang sudah bekerja, berjuanglah untuk cita-cita kalian agar bisa terwujud. Berjuang tidak harus dengan mendompleng jabatan keluarga, apalagi orang tua. Masing-masing punya jalan tersendiri untuk berjuang.

Tidak perlu muluk-muluk menetapkan target perjuangan agar "Indonesia swasembada pangan 2016" jika memang diri tidak mampu membawa Indonesia ke arah sana. Berjuanglah untuk hal yang simple bagi kehidupan sehari-hari. Karena perjuangan  yang kecil saja, jika dilakukan bersama-sama untuk tujuan yang berbeda (walaupun sebenarnya tujuannya akan sama di akhir, kemapanan), tentu sudah akan membawa Indonesia ke arah yang lebih maju.

Untuk pemuda Indonesia agar dapat lebih struggle dan lebih cekatan dalam menghadapi permasalahan hidupnya sendiri.

Selamat Hari Pahlawan, jadilah Pahlawan, seminimalnya bagi dirimu sendiri dan orang-orang sekitarmu.