Jumat, 31 Juli 2015

Objek Wisata: Cengkeraman Sampah dan Rusaknya Ekosistem

Menanjaknya jumlah penonton film 5CM ternyata mengakibatkan menanjaknya pula jumlah anak-anak muda yang gemar travelling dan melakukan trip. Terutama, saat itu, yang paling jelas terlihat meningkat tajam pengunjungnya adalah jalur pendakian Ranupane-Mahameru di Kab Lumajang. Semenjak setelah saat itu, dan seiring mulai majunya media sosial sejenis Twitter, Path, Facebook, dan lain sebagainya, kegemaran anak muda untuk travelling semakin menjadi-jadi. Mulai banyak muncul slogan-slogan yang 'mengajak' untuk travelling:



"Jangan hanya di kamar saja, Indonesia itu indah!"

"Mahameru 3676 mdpl. Kamu kapan kesini?"

Disertai dengan background foto pemandangan alam yang indah. Tak pelak ukuran gaul dan trendi anak muda saat ini sudah bukan lagi kemana-mana pakai fashion trend terbaru, menggunakan barang mahal dan berkelas, naik motor mahal, naik mobil bagus. Ukuran gaul dan trendi anak muda sekarang adalah: travelling ke tempat indah dan atau berlomba-lomba menaklukkan puncak tertinggi. Menarik? Sebuah fenomena yang menarik tentunya. Ada dua fenomena yang patut kita amati dan kritisi bersama. Pertama, adalah fenomena anak muda yang awalnya tidak senang keluyuran (travelling), tapi kemudian diajak travelling, dan kemudian ketagihan untuk travelling. Kedua, fenomena munculnya banyak sekali obyek wisata baru, mulai dari yang sebenarnya dipaksakan sampai yang benar-benar indah alami, mulai dari yang dikelola secara serius, terjaga, dan terencana hingga yang dikelola asal-asalan pokoknya menghasilkan duit, dan lain sebagainya.

Fenomena ini menarik, seiring mulai maraknya berita bahwa banyak sampah berserakan di obyek-obyek wisata, sejalan pula dengan meningkatnya jumlah pengunjung di obyek wisata. Salah siapa? Salah pengelola? Salah pengunjung? Salah penemu obyek wisata? Salah presidennya Jokowi? Salah Prabowo tidak jadi presiden? Salah Megawati? Atau salah megamendung (?)

Dalam hal ini ada 2 pihak yang bisa kita 'persalahkan'. Pertama adalah kita sendiri sebagai pengunjung, kedua adalah pengelola. Kesalahan terbesar dari banyaknya sampah di obyek wisata adalah pribadi pengunjung sendiri. Kurangnya pemahaman bahwa alam bukanlah tong sampah sepertinya belum mendarah daging pada jiwa traveller-traveller ini, baik yang traveller muda, tua, serabutan, part time, atau ababil traveller. Seminimalnya, ketika berkunjung ke obyek wisata, apa yang kita bawa yang potensial menjadi sampah, adalah tanggung jawab diri kita sendiri sebagai pembawa benda tersebut. Ketika benda tersebut kemudian menjadi sampah, maka bukan merupakan hak kita untuk membuang sembarangan di area obyek wisata. Seminimalnya, sampah milik kita tersebut dikumpulkan dan dibuang pada tempat yang disediakan oleh pihak pengelola (jika di obyek wisata non jalur tracking/pendakian, biasanya disediakan tempat sampah. Jika di jalur pendakian/tracking, kumpulkan sampah sejak mulai dari awal berangkat, sampai dengan kepulangan, kemudian sampah yang sudah dikumpulkan dibuang di pos pertama pendakian/tracking). Semaksimalnya, dan syukur banyak yang paham, kita punguti juga sampah-sampah yang diproduksi oleh wisatawan lain yang tidak tahu diri. Seminimalnya benda sukar terurai seperti plastik dan botol plastik, kita kumpulkan dan kita buang di tempat yang seharusnya.

Pengunjung amatir (maaf seribu maaf untuk mengatakan ini) tentu akan langsung reaktif dan menyalahkan pihak pengelola. Biasanya kalimat yang terlontar adalah sebagai berikut:

"Hellow, kita kan udah bayar tiket masuk, jadi kebersihan obyek wisata adalah tanggung jawab pengelola dong!"

Hellow juga! Kita gunakan analogi saja, misalkan dalam sebuah obyek wisata dengan tiket masuk Rp 2.000, memiliki pengunjung 100 orang per hari dan luas area 1 hektar. Misalkan 1 orang saja membawa setidaknya 4 sampah plastik, artinya dalam sehari sudah terdapat 400 sampah plastik yang tersebar di lahan seluas 1 hektar. Buat yang ngomong kebersihan tanggung jawab pengelola karena sudah bayar tiket, mau kah kalau kalian dibayar Rp 200.000 untuk membersihkan 400 sampah plastik dalam luas lahan 1 hektar dalam sehari? Kalau kalian bilang mau, barulah kalian pantas berbicara bahwa sampah adalah tanggung jawab pengelola. Setidaknya analogi bodon ini cukup menjelaskan. Belum lagi jalur pendakian yang panjangnya berkilometer-kilometer dan luasnya beribu-ribu hektar. Maka, adalah mutlak jika sampah adalah tanggung jawab masing-masing individu yang melakukan travelling.

Kedua, kesalahan dapat ditimpakan kepada pengelola. Kesalahan pengelola tidak hanya berakibat pada menumpuknya sampah dan rusaknya ekosistem yang menjadi daya tarik obyek wisata. Kesalahan pengelola bisa dimulai dari kurangnya edukasi internal pengelola, kurangnya edukasi dari pengelola kepada pengunjung, kurang tegasnya pengelola terhadap aksi perusakan ekosistem/sarana obyek wisata, dan kurangnya pengelolaan yang teratur, disiplin, dan mengedepankan aspek ecofriendly. 

Pengelolaan obyek wisata alam tidak semudah mengelola angkot atau becak. Ada banyak aspek yang perlu dipenuhi dalam pengelolaan obyek wisata alam berbasis komunitas karena menyangkut aspek kehidupan makhluk lain (ikan, terumbu karang, pepohonan, hewan liar) yang tidak bisa dikomunikasikan secara verbal dengan bahasa manusia. Kesalahan yang mungkin mengakibatkan menumpuknya sampah di obyek wisata alam adalah minimnya sarana koleksi sampah, seperti tempat sampah atau point pengumpulan sampah. Hal ini tidak berlaku bagi pengelola Taman Nasional/Ranger yang mengelola jalur pendakian gunung atau tracking menuju obyek tertentu karena peraturannya sudah jelas: Sampah yang Anda bawa adalah kewajiban Anda untuk membawa pulang kembali sampai tersebut (syukur-syukur di jalan Anda memunguti sampah yang berceceran dan membawa kembali ke pos pemberangkatan). Pengelola obyek wisata dengan area yang terbuka dan bukan berbentuk tracking atau pendakian, sebaiknya melengkapi dirinya dengan tempat sampah. Misalnya obyek wisata pantai, mungkin perlu ada tempat sampah di beberapa titik yang mudah diakses untuk mencegah wisatawan membuang sampahnya ke laut. 

Menumpuknya sampah di jalur pendakian tidak bisa menjadi tanggung jawab pengelola, sampah di jalur pendakian adalah tanggung jawab pendaki sendiri, meskipun secara berkala, beberapa jalur pendakian mengalami penutupan jalur pendakian untuk pembersihan dan pemulihan ekosistem. Hal ini nampaknya karena kurang tegasnya sanksi yang dikenakan pihak pengelola kepada pendaki membuang sampah seenaknya. Caranya sebenarnya mudah: melakukan pengecekan logistik pendaki yang mungkin akan menjadi sampah oleh pengelola, mencatatnya, dan sekembalinya harus dicek kembali, apakah logistik yang mungkin menjadi sampah jumlahnya sudah sesuai dengan jumlah sampah yang dibawa pulang. Cara ini efektif misalkan jumlah pendaki sebanding dengan jumlah petugas pengelola. Sanksi yang diterapkan pun seharusnya tidak main-main, tidak hanya sekedar push up atau membersihkan area pos keberangkatan, tetapi pendaki diminta menelusuri kembali jalur pendakian sepanjang sekian kilometer untuk memunguti sampah yang ada. Mengerikan bukan? Tentu semuanya tidak ingin hal tersebut terjadi pada dirinya, sehingga masing-masing berusaha untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Selain sampah, masalah krusial lainnya yang mungkin dihadapi oleh pengelola adalah rusaknya ekosistem, terutama lagi-lagi yang melibatkan sektor tracking, pendakian, dan yang melibatkan ekosistem air dan laut (snorkelling, diving). Rusaknya ekosistem ini akibat dari kurangnya edukasi pengunjung. Kurangnya edukasi ini bisa sepenuhnya dibebankan pada kesalahan pengelola karena tidak sepenuhnya pengunjung yang datang sudah membekali dirinya dengan pengetahuan terhadap apa yang akan dilakukannya. Maka, menjadi sebuah kewajiban bagi pengelola untuk memberikan edukasi kepada wisatawan untuk memberitahu apa yang akan dilakukan, bagaimana caranya, dan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Misalkan, untuk snorkelling wisatawan harus diberi tahu bagaimana caranya snorkelling, bagaimana jika terjadi kondisi darurat, larangan untuk menginjak, merusak, mengambil karang dan tumbuhan laut baik dengan sengaja maupun tidak sengaja (FYI, untuk menjadi karang yang bagus dan indah dilihat mata terbentuk selama bertahun-tahun, tidak terbentuk sehari jadi). Pun untuk pendakian juga demikian, disertakan larangan-larangan selama pendakian untuk tetap menjaga ekosistem (edelweiss adalah bunga yang masuk dalam kategori langka, sehingga memetik bunga edelweiss dapat dikenakan denda dan kurungan). 

Kunjungan wisatawan yang membludak pun dapat meningkatkan jumlah sampah dan meningkatkan kerusakan ekosistem. Maka, sebenarnya kontrol jumlah wisatawan adalah cara yang cukup baik dalam menjaga ekosistem alam tempat wisata tersebut. Komentar miring pasti akan bermunculan: "Wisata alam kan adalah anugerah Tuhan, kenapa sih harus dibatasi? Ini kan hak kita untuk melihat keindahan Tuhan!" Itu hanya alibi. Pengelola yang baik, sebaiknya menyesuaikan kemampuan pengelolaan dan jumlah pengunjung. Jika pengelola hanya mampu mengelola 100 pengunjung per hari, maka jangan membuat dan melayani 1000 pengunjung per hari. Hal ini lebih baik dan terkelola daripada pengelola membiarkan beribu-ribu pengunjung datang dengan tujuan tidak jelas dan tingkah laku tidak jelas, akhirnya ekosistemnya menjadi tidak jelas juga. Sudah ada beberapa obyek wisata yang menerapkan hal ini, diantaranya adalah Goa Jomblang di Gunungkidul DIY, Pantai Tiga Warna di Kab. Malang Jatim, Jalur Pendakian Mahameru di Lumajang Jatim, dll. Pembatasan bukan merupakan masalah, jika memang tujuannya adalah untuk edukasi pengunjung dan menjaga ekosistem agar tetap baik adanya.

Sampah dan kerusakan ekosistem adalah tanggung jawab kita bersama sebagai pengunjung, sebagai penikmat. Travelling memang penting, terutama untuk melatih kemandirian dan kemampuan mengatur waktu, tujuan, dan memaksimalkan segala yang ada dalam diri kita. Tetapi, bertravellinglah secara bermartabat. Jadilah traveller yang tidak hanya mengambil foto, selfie-selfie, haha hihi, kemudian buang sampah sembarangan. Ditambah lagi marah-marah kalau diingatkan agar tidak buang sampah sembarangan. Jadilah traveller yang suka mengambil foto, tetapi juga suka memungut sampah yang dihasilkan oleh makhluk-makhluk sejenis manusia yang tidak bertanggung jawab. Pengelola disini hanya sebagai fasilitator. Eksekutor sebenarnya dari kebersihan alam dan ekosistem adalah kita sebagai pengunjungnya.

Travelling lah, dan jadilah traveller yang dewasa. Manusia diciptakan untuk memahami alam, menjadi titik tumpu keseimbangan ekosistem. Travelling lah dengan bersih dan disiplin. Indonesia itu Indah, salam lestari!