Selasa, 12 Mei 2015

Jadi Dokter dan Dokter Gigi Itu Mudah (?)

Sabtu, 2 Mei 2015. Badan lemah disertai panas tinggi menghantarkan saya kembali ke Unit Gawat Darurat (UGD) RSU Dr Soetomo Surabaya. Sudah 6 bulan tidak bersua tempat ini, setelah sebelumnya akan suntik ATS tetapi batal karena alergi. 

Suasana pagi itu sangat ramai, tapi tidak seramai biasanya. Pasien cukup berjubel pagi itu. Beberapa residen dan dokter muda nampak wajah yang kumal, seperti bangun tidur dan tidak mandi. Padahal hari sudah beranjak siang. Wajah sangat lelah terlihat dari masing-masing wajah residen dan dokter muda. Ya, kebiasaan yang harus berlangsung setiap hari, menjadi rutinitas bagi residen dan dokter muda. Memang yang bertugas di UGD ini hanya  residen dari PPDS FK Unair, dokter muda FK Unair, dan PPDGS Bedah Mulut FKG Unair. Belum lagi jika mendapat hukuman dari senior ditambah jam kerjanya hingga 24 jam karena melakukan kesalahan.

Suasana hiruk pikuk, baru saja di bagian supervisor ada keributan kecil, (lagi-lagi) tentang BPJS yang telat setoran ke rumah sakit, sehingga lumayan banyak pasien yang terhambat. Bahkan, salah satu karyawan RSU sempat mengeluh ke supervisor, bahwa ia harus rela membayar dengan uang sendiri untuk pengobatannya karena BPJS tersendat, sehingga semua karyawan tidak bisa dicover BPJS untuk sementara waktu. Entah memang demikian kebenarannya atau tidak, tapi itulah resiko bekerja di sektor kesehatan.

Meskipun wajahnya wajah lelah, tapi mereka semua tetap berusaha melayani dengan baik, berusaha. Walaupun diselingi sedikit marah dan kekecewaan, tetapi setidaknya sudah berusaha untuk bersabar. Demikian pula dokter yang memeriksa saya, tidak perlu waktu lama untuk meyakinkan diagnosanya, segera memberikan obat seperlunya, dan pemeriksaan selesai. Saat itu, ia sudah menangani pasien ke-50. Hanya dua residen yang berjaga di ruang triase siang itu. 

Sementara, diluar rumah sakit ini juga cukup banyak dokter dan dokter gigi terlunta-lunta tidak karuan. Sebagian rela begadang tidak tidur karena sebagai dokter satu-satunya di kota itu. Sebagian lagi, bahkan hampir kebanyakan, kehilangan waktunya dengan keluarga hanya karena buka praktek, atau jaga rumah sakit. Sebagian lagi anaknya keluntungan tidak jelas tidak terurus karena orang tuanya harus tiap hari tiap waktu jaga rumah sakit.


****

"Enak ya jadi dokter/ dokter gigi itu. Lihat tuh, rumahnya besar, barangnya serba mewah. Pokoknya enak wis, jadi dokter itu bisa kaya."

Kata 'dokter' memang masih menjadi primadona dan menjadi gelar kehormatan tersendiri di tengah masyarakat. Meskipun saat ini, profesi dokter sedang mencapai titik buruknya dan dianggap sebagai pekerjaan antagonis oleh sebagian masyarakat: cuma jualan obat, salah diagnosis gapapa, tidak berperan apa-apa wong hidup itu milik Tuhan, dan lain-lain. Seolah-olah profesi dokter menjadi profesi yang kejam dan dingin: bisa melakukan pembunuhan dengan legal, karena toh nanti dibela teman-temannya yang dokter. Jadi, kalau memang sejak awal ingin membunuh, kenapa kok tidak jadi psikopat atau pembunuh bayaran saja? Kenapa harus jadi dokter?

Tidak ada dokter yang tidak ingin pasiennya mengalami kesembuhan. Titik akhir keinginan semua dokter adalah sama, baik itu dokter atau dokter gigi: kesembuhan pasien, sehingga bagian tubuh pasien dapat menjalankan fungsi sebagaimana normalnya. Tidak ada dokter yang ingin agar pasiennya sakit terus menerus sehingga ia menjadi langganan dokter tersebut. Pun ada yang demikian, itu semua pasti murni suudzon sang pasien saja. Semua dokter diajarkan hal yang sama pada proses pendidikannya: bagaimana memahami mekanisme tubuh melalui serangkaian proses anatomis, fisiologis, patologis, dan lain sebagainya, hingga ditemukan titik kelainannya dimana, dan pada akhirnya dapat menggunakan dan mengaplikasikan teknologi farmasi, teknologi kedokteran, dan teknologi lainnya untuk dapat menyembuhkan kelainan patologis pada diri manusia. Ilmu memang berkembang, tetapi dasarnya tidak pernah berubah. Sangat wajar ketika ada dokter yang masih menggunakan metode lama untuk pengobatan, sementara ada metode baru yang memang belum terpublikasi secara baik.

Jadi dokter/dokter gigi tidak semudah cari kerja di perusahaan. Prosesnya saja sudah sangat panjang, 3,5-4 tahun untuk menyelesaikan S1 dan meraih gelar S.Ked atau S.K.G, dilanjutkan dengan program profesi selama 1,5-2 tahun untuk profesi kedokteran dan 1,5-entah selesai kapan untuk profesi kedokteran gigi (rata-rata program profesi kedokteran gigi selesai dalam 2 tahun) untuk hampir bisa mendapatkan gelar dr. atau drg. Lah, kok hampir bisa? Dipikir selesai ko-ass kemudian juga sudah selesai perjuangan? Langsung bisa praktek gitu? Kok enak?! Untuk bisa praktek, calon dokter dan dokter gigi yang telah selesai requirement ko-ass harus mengikuti Uji Kompetensi atau Ujian Penyetaraan (UKDI jika di kedokteran, dan UKDGI jika di kedokteran gigi, jika namanya belum ganti). Setelah lolos, langsung bisa praktek? Belum bisa juga. Harus mengurus Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktek ke konsil kedokteran (IDI dan PDGI). Beberapa universitas mensyaratkan agar lulusannya menjalani Internship (praktek di daerah) terlebih dahulu untuk mendapatkan surat kelengkapan praktek tersebut. Proses yang teramat sangat lama, 5-6 tahun. Sementara kalau kuliah biasa bisa selesai dalam waktu 3,5-4 tahun jika tidak malas dan mau memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Demikian, masih bilang jadi dokter itu enak dan mudah tinggal ikut kurikulum? Belum lagi setiap hari harus belajar buku setebal bantal, yang ko-ass di FKG belum lagi tiap hari masih harus keliling kampung mencari pasien. Skripsi? Ya, sama, di FK dan FKG ada skripsi meskipun kadang namanya beda, bahkan di beberapa universitas mensyaratkan penelitian setara dengan penelitian S2 agar skripsinya di-acc. Mudah to kuliah di kedokteran dan kedokteran gigi itu??

"Kan setelah lulus enak, bisa narik biaya seenaknya ke pasien. Dapat ceperan dari obat, ntar praktek pasiennya banyak, terus bisa beli rumah bagus, mobil mewah, dll dll dll"

Dokter dan dokter gigi adalah sebuah bisnis kepercayaan. Dan seperti yang sudah masyarakat umum tahu, membangun kepercayaan tidak cukup dalam sejam saja. Sukses atau tidaknya dokter dan dokter gigi terletak pada kepercayaan pasien pada dokternya. Seorang dokter yang pandai dengan IPK 4,00 bisa jadi kalah dengan seorang dokter yang biasa saja tapi mampu membangun kepercayaan pasien. Dengan demikian, begitu lulus dokter yang praktek tidak serta merta langsung dapat pasien banyak, keroyokan seperti beli ayam goreng murah. Sekalipun dokter yang baru praktek tersebut mewarisi praktek orang tuanya, kepercayaan pasti perlu dibangun juga. Kadang ada 5 pasien sehari bagi dokter umum baru, itu sudah baik. Bagi dokter gigi baru, kadang sehari ada 1 pasien saja sudah bagus. Sampai kapan demikian? Mungkin bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tergantung bagaimana dokter tersebut membangun trust kepada pasiennya. Sama bukan seperti ketika memulai bisnis?

Itu baru prakteknya. Apakah dokter dan dokter gigi setelah lulus dan dapat SIP-STR kemudian seumur hidupnya praktek begitu saja dan menikmati hasilnya? Wow, tidak demikian juga. Seorang dokter dan dokter gigi, wajib memperbaharui surat kelengkapan prakteknya setiap 5 tahun sekali. "Ah, kan hanya bayar saja dan sudah beres?" Siapa bilang? Untuk memperpanjang surat tersebut, seorang dokter dan dokter gigi diwajibkan mengikuti seminar dan table clinic (bagi dokter gigi) dengan skor SKP tertentu. Kadang harus ikut 3 seminar dan 2 table clinic dalam 5 tahun terakhir. Sekali seminar, kadang biayanya Rp 1,5 juta-3 juta tergantung besaran SKP, materi, penyelenggara, dan pemateri. Table clinic pun kadang biayanya Rp 800 ribu-2 juta, tergantung pemateri dan fasilitas. Itu semua jika seminar dan table clinic diadakan di dalam negri. Murah kan ya? Belum lagi menjadi wajib bagi dokter dan dokter gigi untuk update ilmu pengetahuannya melalui jurnal terbaru. Untuk jurnal ini bisa download gratis, karena kadang ada portal penyedia jurnal gratis. Pun harus berbayar, jurnal luar negeri tidak ada yang murah, kadang habis bisa sekian ribu dolar. Ilmu kedokteran dan kedokteran gigi adalah ilmu yang teramat sangat cepat berkembangnya, jika ketinggalan info selama 1 tahun saja, maka sudah jelas ketinggalan sangat jauh sekali.

****

Sedemikian mudahnya kan jadi seorang dokter/dokter gigi? Masih belum lagi ditambah berbagai masalah yang lagi-lagi mengikutkan dokter: BPJS dan dugaan malpraktek.

BPJS itu asyik, nabung tiap bulan, nanti kalau sakit tidak usah bayar. Obatnya juga bagus kok (obat generik juga merupakan obat bermutu). Fasilitas oke, dan tidak ada rumah sakit yang boleh menolak pasien BPJS. Premi juga bisa menyesuaikan. Sakit apa aja dicover sama BPJS (meskipun beberapa kasus di Kedokteran Gigi sejenis gigi tiruan lengkap, prothesa, veneer dan perawatan estetik tidak dicover oleh BPJS karena termasuk dalam perawatan tertier). Asyik banget kan ikut BPJS itu? Tapi, bagaimana dari segi dokter? Asyik juga nggak?

Salah satu dokter gigi di sebuah daerah di Jawa Timur mengaku menerima Rp 20 juta tiap bulannya dari BPJS. Fantastis bukan? Mari kita breakdown. Tiap pasien dokter gigi dikenai premi Rp 2.000,00 tiap bulannya untuk satu orang pasien. Jika dokter gigi tersebut menerima premi Rp 20 juta tiap bulannya, artinya tiap bulan dokter gigi tersebut mempunyai tanggungan 10.000 pasien. Wow, fantastis kan? Jika misalnya 10.000 pasien tersebut sadar kesehatan dan tiap bulan melakukan kunjungan (misal cabut, tambal, pembersihan karang yang tidak bisa one visit karena banyak kasus (kalau tidak salah, kunjungan ke dokter gigi dibatasi satu bulan satu kasus)), jika dokter tersebut buka 5 hari kerja, total 20 hari kerja sebulan, maka dalam sehari dokter gigi tersebut harus mengerjakan 500 pasien. Super sekali! Rata-rata dokter umum di daerah tersebut juga sama, menangani 5000 tanggungan pasien. Padahal, menurut salah satu petinggi MKDKI, seorang dokter dianggap ideal pelayanannya jika menangani 20 pasien dalam +/- 5 jam periode praktek (dengan catatan satu pasien punya waktu 15 menit untuk konsultasi dan pemeriksaan). Banyak kan gajinya? Seneng kan terima gajinya? Enak jadi dokter dan dokter gigi digaji Rp 2.000,00 tiap pasien tiap bulannya. Kalah lho sama tukang parkir depan klinik yang narik biaya parkir motor Rp 2.000,00.

Belum lagi berbagai keluhan setoran dana, logistik (bahan dan obat) yang sangat sering terlambat dari BPJS sehingga operasional sarana kesehatan terganggu. Sehingga akhirnya (lagi-lagi) dokternya yang disalahkan dan dianggap sebagai tidak profesional. Bukan rahasia lagi jika BPJS sering terlambat dalam hal tersebut.

BPJS adalah sebuah program yang disusun untuk mengubah mindset masyarakat dari pola kuratif-rehabilitatif menjadi promotif-preventif. Sehingga, semua program dan pendanaannya diarahkan ke arah promotif-preventif. Biaya yang diberikan kepada dokter dan dokter gigi sebesar Rp 2.000,00 sangat cukup jika digunakan untuk tindakan promotif-preventif. Sayangnya, mindset masyarakat Indonesia sampai saat ini masih kuratif-rehabilitatif dan akan seterusnya demikian jika tidak dilakukan penyuluhan yang adekuat. Bagaimana mungkin seorang dokter/dokter gigi menekankan dan memaksakan pelayanan pada sektor promotif-preventif jika ternyata masyarakat lebih membutuhkan pelayanan kuratif-rehabilitatif, bahkan hingga 5 tahun kedepan? Bagaimana mungkin seorang yang datang karena sakit gigi karena giginya berlubang kemudian kita berikan penyuluhan tanpa kita berikan tindakan penambalan gigi atau mengurangi rasa sakit dengan relief of pain? Sementara BPJS menekankan bahwa semua tenaga medisnya harus lari ke arah promotif-preventif, sementara dokter dan dokter giginya harus terlunta-lunta karena kebutuhan kuratif-rehabilitatif lebih menjadi kebutuhan di tengah masyarakat.

****

Hukum di Indonesia juga semakin ketat, terutama bagi orang yang lemah dan terlihat mudah dipersalahkan. Dokter dan dokter gigi juga kembali menjadi sasaran empuk penegakan hukum ini. Maksudnya baik: melindungi pasien. Tetapi tidak melindungi dokter dan dokter gigi sama sekali. MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) tidak mendapat tempat dalam menentukan apakah dokter yang dianggap malpraktek benar bersalah secara profesi atau tidak. Semua kasus kematian dalam penanganan medis, dikenakan pasal-pasal dalam KUHP, dianggap sebagai pembunuhan. Dokter dengan sengaja lalai dan melakukan pembunuhan. Dokter kok dengan sengaja lalai. Ingat sumpah Hipokrates? Jika ingat sumpah tersebut, apalagi tahu isinya, saya rasa tidak mungkin jika ada yang mengatakan 'seorang dokter sengaja lalai', karena kepentingan pasien adalah yang utama dan tidak akan melakukan tindakan yang merugikan atau membahayakan.

Sudah hampir 10 hari berlalu keputusan dari Mahkamah Agung ini keluar. Obrolan dari dosen tempat departemen saya bekerja masih cukup hangat tentang hal ini. Kemungkinan dari keputusan dari Mahkamah Agung ini adalah defensive medicine, sebuah tindakan yang muncul karena ketakutan akan dituntut ke pengadilan jika pasien yang ditanganinya meninggal padahal penanganan sudah sesuai dengan standar prosedur dan sesuai keilmuan yang didapatkan. Salah satu akibat yang mungkin akan timbul dari adanya defensive medicine ini adalah dokter atau dokter gigi enggan melakukan tindakan kegawatdaruratan medis. Jika ada kasus yang masuk ke UGD, maka dengan adanya defensive medicine ini, harus dilakukan pemeriksaan yang sangat detil dulu, supaya diagnosa bisa benar-benar tegak dulu, baru penanganan dilakukan. Dokter menjadi tidak mau memberikan tindakan darurat untuk memperpanjang nyawa, tetapi justru melakukan seluruh tes laboratorium supaya diagnosa tegak. Bagus kan? Iya bagus, tetapi dalam kondisi darurat, nyawa pasien selalu berada pada kondisi terancam. Dengan demikian, kondisi pasien menjadi semakin terancam karena dokter tidak mau melakukan tindakan kedaruratan, lha kalau dilakukan tindakan kedaruratan nanti pasiennya mati, dokter yang dituntut. 

Dengan keluarnya keputusan tersebut, sedikit-sedikit pasien akan diberikan surat informed consent dan diminta membeli materai Rp 6.000. Memang ini bagus, tapi mungkin bahkan untuk tindakan sederhana yang tidak membahayakan jiwa (misal tambal gigi) tapi bisa menimbulkan tuntutan hukum di kemudian hari juga akan diberikan informed consent. Dokter dan dokter gigi akan lebih menjadi sangat hati-hati dalam mengambil tindakan, yang mana ini akan merugikan pasien.

Belum lagi saat ini MKDKI tidak 'dianggap' lagi dalam menentukan dokter bersalah secara etik dan disiplin atau tidak. Sehingga, orang hukum bisa menyatakan dokter bersalah hanya berdasar KUHP, bukan berdasar ilmu dan prosedur kedokteran yang berlaku. Luar biasa! Lantas, apa gunanya dibentuk MKDKI? Lantas untuk apa dibuat UU Praktik Kedokteran jika pada akhirnya dokter dapat dijerat dengan pasal pembunuhan jika pasiennya meninggal dalam proses perawatan yang sesuai prosedur?

****

Sedemikian mudahnya menjadi dokter dan dokter gigi. Biaya kuliah di kedokteran dan kedokteran gigi berkisar Rp 15.000.000-Rp 300.000.000 dari awal hingga selesai (Rp 25.000.000 adalah biaya termurah kuliah di kedokteran gigi, biaya belum termasuk uang kos, uang bayarin pasien, bayarin obat pasien, beli alat dll, jika diambah biaya ko-ass (bayar pasien dan beli alat), mungkin ditambah Rp 10.000.000). Dengan biaya sekian, jika memang ingin kaya sejak awalnya, sebaiknya jangan investasikan dana tersebut dengan menjadi dokter. Lebih baik digunakan untuk membuka usaha.

Pilihan menjadi dokter bukanlah pilihan yang linear untuk menjadi kaya. Jadi dokter jadi kaya bukanlah pilihan yang tepat. Banyak problem yang bakal menanti, mulai sejak kuliah bahkan hingga ketika sudah jadi dokter. Tulisan di atas hanya sebagian kecil saja problem yang mungkin dihadapi. Belum problem yang akan muncul ketika menghadapi pasien yang aneh-aneh, masalah ijin gangguan praktek, dan lain sebagainya. Menjadi dokter bukanlah karena keturunan, bukan karena kaya, bukan karena ingin kaya, bukan karena pintar lalu harus masuk kedokteran. Menjadi dokter, sebenarnya, adalah panggilan. Panggilan untuk rela terlunta-lunta dan dilunta-lunta. Rela dipersalahkan kalau pasien tidak sembuh, sementara sudah berjuang sesuai dengan kemampuan maksimal. Rela diolok-olok oleh pengobatan alternatif yang kadang metode pengobatannya non sense dan kadang malah lebih banyak menimbulkan malpraktek tetapi tidak pernah dituntut.

Menjadi dokter dan dokter gigi adalah.............sabar.
Maka, teruslah berjuang di jalan yang benar untuk tetap berpikiran 'menolong pasien'. Banyak hal yang harus dibenahi dari dunia kedokteran, sistem, hirarki, majelis etik dan disiplin, penyetaraan tarif. Dan itu adalah PR bagi dokter-dokter muda, yang katanya tidak pernah aktif berorganisasi karena sibuk kuliah. Mari bangun kembali kedokteran Indonesia. Tegakkan kembali kepala yang tertunduk lesu ini. Profesi kedokteran bukan profesi antagonis!

Apalah daya menjadi dokter/dokter gigi jika kebahagiaan terbesar hanya melihat pasien sembuh #doktermahapaatuh

Tulisan dari seorang calon dokter gigi yang belum lulus dan belum menikmati gemerlapnya-enaknya dunia luar. Jika tidak penting dan setengah curhat, harap diabaikan.