Jumat, 13 September 2013

Mobil Murah, Bom Waktu yang Salah Sasaran

Peraturan Pemerintah tentang Low Cost Green Car (LCGC) atau tentang mobil murah berbasis lingkungan akan segera disahkan beberapa saat lagi. Artinya, mobil-mobil murah yang notabene untuk rakyat menengah ke bawah akan segera beredar di jalanan. Bahkan, Agya dan Ayla, dua merk mobil pabrikan Toyota dan Daihatsu yang disebut-sebut merupakan mobil yang berkonsep LCGC telah dijual, diiklankan, dan bahkan telah mulai berproduksi, meski untuk varian tertentu (yang mungkin masih belum LCGC). Bahkan, harga termurah dari Ayla dipatok berada pada kisaran Rp 76 juta off the road Jakarta. Mampukah kebijakan LCGC ini menjawab pertanyaan masa depan untuk transportasi Indonesia: transportasi yang aman, nyaman, murah?
Jika memang tujuan jangka pendeknya adalah transportasi yang aman, nyaman, dan murah, mungkin kebijakan LCGC ini bisa dibilang tepat sasaran. Dan lagi, selain aman, nyaman, dan murah, juga jadi hak milik pribadi jadi bisa bebas dipergunakan. Bukankah orang Indonesia suka dengan segala sesuatu yang kemudian dijadikan hak milik pribadi? Tanah, rumah, mobil, bahkan tanah milik pemerintah yang kemudian diprivatisasi. Bagaimana tidak beberapa konsep LCGC yang ditawarkan memiliki fitur yang wah sehingga mampu mengakomodir kenyamanan dan keamanan berkendara. Meskipun belum power steering (masih steering with power), namun fitur AC dan dual SRS Airbag pun pernah ditawarkan.
Lantas, apa yang salah dengan konsep LCGC yang ditawarkan oleh pemerintah ini? 
Sudah selayaknya ketika membuat sebuah keputusan, pemerintah tidak hanya mempertimbangkan prinsip kini dan disini saja, tidak hanya berprinsip hari ini hingga masa kepemimpinannya habis saja. Namun, juga prinsip hari ini, besok, esok, kemudian hari, dan entah sampai kapan. Kebijakan LCGC ini hanya memikirkan hari ini dan besok saja. Pemberian mobil murah kepada masyarakat memang bertujuan untuk menciptakan angkutan yang aman, nyaman, dan murah. Kenyataan yang akan terjadi di masa depan, ketika mobil-mobil murah ini sudah berkeliaran di jalanan dalam jumlah yang sangat banyak -karena masyarakat menengah kebawah mampu membelinya, maka masa depan Indonesia di kemudian hari adalah Jakarta. Pemerintah tidak mampu berpikir bahwa semakin banyak kendaraan yang berkeliaran di jalanan, baik itu mobil, motor, bus, atau truk, maka akan semakin bertambah pula beban jalanan setiap harinya. Padahal luas total jalanan belum tentu mencukupi untuk semua kendaraan yang lewat, dimana beban jalanan bergantung pada volume kendaraan juga. Pemerintah bisa berpikir hari ini bahwa luas jalanan bisa ditambah dengan memperlebar luas badan jalan, atau mungkin membuat solusi membuat jembatan layang atau jalan tol. Kebijakan memperluas jalan tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan kemacetan dimanapun. Sampai kapan jalanan bisa diperluas? Tentu sampai satu kota berisi jalan semuanya, seperti Jakarta saat ini, di samping rumah ada jalan protokol, di atas rumah ada jalan layang. Perluasan jalan akan terhenti ketika seluruh daratan dan sebagian lautan telah menjadi jalan raya, dan sudah terjadi di Bali, Jalan Tol yang melintas di atas lautan Benoa, Bali. Maka, ketika jalan sudah mulai macet karena overload, jelas aspek nyaman dan murah dari LCGC akan mulai terkikis, kondisi macet jelas menimbulkan stress tersendiri baik bagi driver maupun bagi penumpang, dan jelas ketika macet konsumsi BBM akan meningkat drastis.
Tujuan baik menyediakan LCGC untuk masyarakat menengah kebawah sepertinya pun juga tidak akan bisa terlaksana. Mentalitas masyarakat umum menengah kebawah adalah membeli, memakai, jika rusak ya sudah. Atau mungkin membeli dengan menyicil, dipakai, tidak kuat membayar akhirnya ditarik dealer. Bukan bermaksud meremehkan, namun yang sering terjadi adalah demikian. Penyediaan LCGC hanya akan mendorong masyarakat menengah kebawah untuk kian konsumtif dalam menjalani hidup mereka. Sesungguhnya, alih-alih untuk membeli mobil, kadang untuk membeli makan pun pas-pasan, kali ini malah diiming-imingi oleh pemerintah dengan subsidi yang hanya sesaat, bertujuan untuk menghabiskan anggaran negara saja. Masyarakat menjadi konsumtif, beli mobil, tanpa ada pemahaman bahwa dengan membeli maka perlu merawat, membiayai bbmnya dan onderdilnya, yang mungkin karena mobil murah sudah tentu kualitasnya buruk. Masyarakat menengah kebawah yang terpancing membeli LCGC ini, secara perlahan akan dimiskinkan. Memang mungkin lebay, tapi ini yang terjadi pada masyarakat kita saat ini: sepeda motor murah, lupa bahwa membeli juga harus merawat, mengeluarkan biaya cukup banyak, akhirnya kalau tidak uang habis untuk merawat motor ya mati karena kecelakaan karena perawatan sepeda motor tidak beres. Dan bisa ditebak, inilah yang terjadi jika LCGC beredar.
Pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan LCGC akan meningkatkan pendapatan negara melalui industri manufaktur dan barang-barang mentah (besi, baja, plastik, dll) juga, jika dipikir, tidak sepenuhnya benar. Berapa persen kah komponen mobil-mobil yang berasal dari Indonesia? Mungkin hanya sekian persen, sebagian besarnya mengimpor dari negara luar, cina, bahkan Jepang dan Eropa. Berapa juga kah pajak yang masuk dari LCGC ini ke pemerintah? Mungkin hanya sangat sedikit karena LCGC ini tidak dikenakan pajak atas PPnBM. Pun pajak yang masuk dari ijin-ijin manufaktur juga hanya sedikit. Apa untungnya bagi Indonesia? Jelas tidak ada. Mungkin untung bagi orang per orang yang memberikan keputusan ini ada, amplopan karena sudah menggolkan kebijakan LCGC. Indonesia lebih suka menjual barang mentah dengan untung sedikit ke luar negri daripada mengelola barang mentah yang ada di dalam negri menjadi barang jadi lalu menjualnya dengan harga yang berkali lipat lebih tinggi.

Lantas, apa solusi yang harus diberikan? Mengingat karakteristik dan pemahaman masyarakat menengah kebawah bahwa masih sulit menanamkan pemikiran 'membeli-merawat', maka sudah selayaknya pemerintahlah yang menyediakan dan merawat, namun membuat masyarakat merasa memiliki. Pemberian subsidi pada pembelian kendaraan dengan konsep LCGC adalah kebijakan sesaat dan ejakulasi dini, membuat masyarakat menengah kebawah sangat senang dan lega, tapi harus sengsara kemudian hari. Daripada subsidi tersebut dibuang ke ranah yang tidak tentu ujungnya, karena toh pada akhirnya LCGC itu akan dimanfaatkan orang-orang kaya yang sebenarnya berduit tapi malas mengeluarkan uang lalu membeli mobil murah, mending subsidi tersebut diarahkan ke pembangunan transportasi massal. Lebih baik subsidi tersebut diarahkan ke subsidi BBM untuk kendaraan umum, daripada dibuang-buang untuk mensubsidi orang kaya yang sudah jelas tidak seharusnya subsidi. Lebih baik subsidi tersebut diarahkan untuk pengaturan transportasi dalam kota, terutama minimal kota-kota besar terlebih dahulu. Juga mungkin untuk mensubsidi PT KAI atau PT INKA dan PT DI untuk lebih mampu membuat hasil produksi manufaktur kendaraan-kendaraan yang 'mumpuni' untuk dijual ke luar negri.
Maka, perlu ditanamkan mulai saat ini, bahwa angkutan aman, nyaman, dan murah bukanlah LCGC, melainkan transportasi umum. Melalui subsidi ini, seharusnya tidak diarahkan ke LCGC melainkan ke transportasi umum. Bagaimana mungkin sebuah monorel yang katanya bebas macet, nyaman, tapi harus membayar Rp 15.000 untuk sekali naik (bayangkan, itu sekali naik, sehari minimal Rp 30.000), bukankah lebih enak subsidi LCGC diarahkan ke subsidi sejenis. Bayangkan naik monorel bisa Rp 5.000 dengan kenyamanan ekstra. Naik bus kota dan angkot yang telah terintegrasi hanya Rp 2.000 setelah disubsidi. Pengeluaran masyarakat pun bisa ditekan. Dari bensin Rp 220.000,00 seminggu, bisa hanya jadi Rp 50.000,00 seminggu. 

Mari tolak LCGC, dan mari kita dukung pembenahan transportasi massal di Indonesia!

Selasa, 10 September 2013

Kekuatan 'Always Listening, Always Understanding'

'Always listening, always understanding'
Setidaknya inilah tagline sebuah perusahaan asuransi besar yang mengiklankan dirinya di televisi nasional. Mendengarkan dan memahami menjadi pokok terpenting dalam perkembangan sebuah organisasi.
Mendengarkan adalah suatu hal yang sangat mahal di masa kini. Generasi yang suka akan hal instant dianggap sebagai pemicunya -semua-semua harus dilaksanakan secara cepat yang penting selesai. Sayangnya, mendengarkan memerlukan sebuah proses yang cukup panjang serta memerlukan hati yang cukup lapang untuk melakukannya. Ini sangat susah dilakukan pada masa sekarang. Apalagi ketika banyak orang yang kemudian memandang bahwa 'mendengarkan' adalah sesuatu yang istimewa, maka berbondong-bondong orang berusaha menjadi 'istimewa' dengan pura-pura dan sok mendengarkan dengan sekedar berkata 'iya' atau 'ooo' kepada orang yang berbicara kepadanya, padahal nyata-nyata pikirannya melayang-layang kemana-mana. Semu, hingga akhirnya orang yang berbicara sadar bahwa kegiatan mendengarkan yang dilakukan orang tersebut adalah semu.
Mendengarkan menjadi sangat penting, tidak hanya bagi hubungan antar individu, tapi juga dalam kehidupan organisasi. Dalam konteks hubungan antar individu, segala informasi masuk melalui proses berkomunikasi. Salah satu komponen komunikasi yang tidak boleh dilupakan adalah mendengarkan. Demikian juga organisasi. Mendengarkan, baik mendengarkan melalui ucapan lisan atau melalui tulisan, merupakan roh utama bagi sebuah organisasi. Segala informasi akan masuk melalui proses 'mendengarkan' ini. Baik itu informasi baik atau yang buruk. Mendengarkan tidak lagi seharusnya menjadi hal yang istimewa dalam sebuah organisasi, melainkan menjadi sebuah keharusan untuk mendengarkan segala macam suara yang berasal, baik dari dalam maupun luar organisasi.
Trend terbaru yang (saya rasa) harus dilaksanakan adalah mendengarkan tidak hanya dengan memanfaatkan indera pendengaran saja. Metengtuwo (Mlebu tengen metu kiwo). Mendengarkan tanpa menggunakan perasaan, ujungnya adalah hanya jawaban 'iya', 'ooo', dan 'ho'o to?' yang muncul dari mulut. Ketika mendengarkan dengan menggunakan perasaan, maka terakhir akan muncul apa yang dinamakan 'understanding', memahami. Mendengarkan dan memahami menjadi suatu kesatuan yang sangat tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Hanya mendengarkan maka kita hanya akan memperoleh informasi tanpa dapat berbagi solusi dengan si komunikator, hanya memahami jelas tidak mungkin karena memahami butuh merasakan atau minimal mendengarkan. Dengan mendengarkan, maka seharusnya memahami.
Apa pentingnya mendengarkan dan memahami dalam sebuah organisasi?
Sebuah organisasi hidup dari sekumpulan massa yang menginginkan suatu tujuan yang sama. Setiap organisasi senantiasa memiliki pimpinan atau pengurus yang dipilih melalui prosedur tertentu, dan pengurus tersebut merupakan perwakilan atau representasi dari keseluruhan anggota. Artinya, tidak semua anggota menggerakkan organisasi, tentu melalui sistem perwakilan melalui pengurus yang bersangkutan. Bagi pengurus organisasi, mendengarkan dan memahami adalah suatu keharusan. Terutama dalam upayanya menggerakkan organisasi. Organisasi yang dimaksud, tidak akan bergerak dengan sendirinya tanpa ada 'suara' dari anggota-anggotanya. Sehingga, proses mendengarkan menjadi penting, yang pertama, dalam kaitannya menentukan arah organisasi menuju arah yang lebih baik, sesuai dengan idaman anggota saat itu. Karena organisasi bukan milik 'mantan anggota', 'mantan pengurus', atau 'mantan pembina'. Organisasi adalah milik dari anggota yang tercatat sesuai dengan peraturan organisasi. Setelah mendapatkan informasi melalui proses 'mendengarkan', maka proses penting berikutnya adalah memahami. Banyak sekali forum-forum dengan dalih 'jaring aspirasi' dilaksanakan oleh berbagai organisasi. Tujuan untuk 'mendengarkan keluhan anggota' sudah berjalan, namun pada akhirnya, pengurus yang seharusnya mengolah aspirasi tersebut gagal 'memahami' apa yang dimaksudkan dalam aspirasi tersebut. Gagal memahami dalam bentuk apa? Mengcounter balik sebuah aspirasi saja sudah merupakan tindakan 'gagal memahami' dalam sebuah konteks mendengar dan memahami. Gagal memahami aspirasi lebih berbahaya lainnya adalah dengan menganggap aspirasi dari pihak tertentu sebagai upaya menggagalkan roda pemerintahan, tentu ini tindakan ketakutan luar biasa yang sengaja dibudidayakan dalam berbagai organisasi di Indonesia. 
Budaya mendengarkan dan memahami benar-benar sangat penting dalam kehidupan organisasi. Tidak hanya oleh pengurus, meskipun sesungguhnya penguruslah yang dapat menginisiasi budaya ini, namun juga oleh seluruh anggota dan komponen organisasi. Yang sering terjadi di organisasi akhir-akhir ini adalah gagal mendengarkan, tidak mau mendengarkan kritik orang. Serta gagal memahami, tidak mencerna pendapat orang lain dan cenderung mengcounternya dengan pandangan-pandangan pribadi yang sesungguhnya malah membawa kemunduran bagi organisasi. 
Saatnya kita melihat kembali organisasi yang kita huni masing-masing. Apakah budaya mendengarkan dan memahami sudah berjalan dengan baik, lengkap dengan pernak-perniknya? Mungkin bagi Anda yang merasa tinggal di organisasi yang 'hampir ditinggalkan' oleh anggotanya, mendengarkan dan memahami bisa menjadi solusi utama agar organisasi Anda kembali mendapatkan kepercayaan kembali dari anggotanya. Karena organisasi dapat hidup dari mendengarkan pendapat anggotanya dan memahami pendapat anggotanya untuk kemudian diimplementasikan.