Kamis, 01 Agustus 2013

Indonesia di Ambang Kehilangan (2): Padahal Diam Itu Berbahaya

Diam seperti seolah-olah menjadi sebuah kebiasaan, bahkan kewajiban jika ada suatu hal. Dan ini terjadi di negeri kita, Indonesia. Peribahasa lama menyebutkan bahwa diam adalah emas. Benarkah itu? Sudahkah melihat akibat dari diam, terutama di Indonesia: warga Syiah di Sampang harus terusir dari kampung halamannya, beratus-ratus gereja ditutup, kekerasan oleh ormas berkedok agama, pertentangan yang berkaitan dengan SARA mulai bermunculan, dan lain sebagainya? Jika demikian, masihkan diam adalah emas?

Sejak balita, kita sudah diajarkan bahwa diam itu adalah baik. Diajarkan juga bahwa diam adalah pilihan terbaik dalam segala situasi. Misal ketika balita menangis atau ribut, biasanya ibu akan mengucapkan "Sst, anak baik mesti bisa diem..." atau kata lain yang tujuannya sejenis. Termainset sejak dini bahwa kalau diam pasti menjadi anak baik. Mainset ini terbawa terus ketika beranjak ke usia pendidikan dasar 9 tahun: ibu guru bertanya ,"Ada yang mau bertanya tentang pelajaran ini?" kemudian biasanya semua siswa memilih diam, karena kalau mengacungkan tangan akan dikira bodoh, tidak mau belajar, atau tidak memperhatikan. Padahal belum tentu demikian.
Ada juga beberapa orang yang menganggap diam adalah tindakan yang santun, sopan. Diam adalah sopan kemudian juga menjadi kebiasaan: kalau berkunjung ke rumah, lalu diam dan senyam-senyum dianggap sebagai sopan. Padahal sopan tidak melulu harus diam.
Melihat berbagai fenomena yang ada, memang sepertinya generasi muda di Indonesia ini lebih banyak diajari untuk diam. Di kelas, bingung tentang mata pelajaran, daripada dianggap bodoh, lalu memilih untuk diam. Akhirnya di ujian akhir, benar-benar tidak bisa mengerjakan soal. Ketika kuliah, menghadapi masalah, lebih memilih diam, lalu tiba-tiba bunuh diri. Itu baru menghadapi masalahnya sendiri-sendiri. Menghadapi masalah pribadi saja cenderung memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-apa. Bagaimana ketika dihadapkan pada permasalahan pelik yang tidak hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga orang di sekitarnya? Akhirnya, yang ada adalah ketidakpedulian dan antipati.
Diam bukan emas. Diam bukan juga santun. Tapi, diam itu berbahaya. Bayangkan, karena diam, kasus kemanusiaan Soeharto sejak 1998 hingga hari ini (15 tahun berlalu) belum juga selesai. Karena diam, kesewenang-wenangan pemerintah kali ini, melalui berbagai undang-undang, terus dibiarkan dan sengaja jadi pembiaran. Karena diam, berbagai kasus berkaitan SARA dibiarkan berlalu begitu saja dan yang seharusnya mendapatkan haknya akhirnya tidak jadi mendapatkan haknya dan tersingkirkan. Karena diam, akhirnya segala kesewenang-wenangan terjadi. Dan karena diam, akhirnyalah pula segala emosi yang tak terungkapkan menjadi tidak terbendung dan meledak begitu saja, baik belalui konflik horizontal atau melalui tindakan-tindakan apatis. Betapa mengerikannya sebuah 'diam' itu.
Sayangnya, Indonesia kini dipenuhi oleh minoritas yang bersuara lantang, hingga seolah-olah menjadi mayoritas, dalam hal apapun tidak hanya dalam hal Suku, Agama, dan Ras. Padahal, mayoritas tidak berpendapat seperti minoritas. Jika demikian ini terus berlangsung dan terus dilakukan pembiaran, maka tidak heran jika keputusan yang diambil selama ini, masyarakat tidak tahu, dan terkesan berat sebelah. Dan ini semua ya hanya karena diam.
Melalui tulisan ini, untuk Indonesia yang mulai kehilangan, bahwa diam mengerikan. Indonesia adalah negara demokrasi, dan pendidikan saat ini tidak lagi menekankan bahwa guru adalah sang mahadewa yang tidak pernah salah, sehingga kalau ada siswanya yang berpendapat pasti dianggap salah (mungkin beberapa guru yang kolot masih berpendapat demikian). Kebebasan berpendapat sudah sangat luas, meskipun harus dibarengi dengan kesantunan. Diam bukan santun, santun adalah sesuai tatakrama, melihat konteks dimana dan dengan siapa Anda bicara, sesuai dengan konteks yang ada saat itu (obrolan yang nyambung dan menjawab pertanyaan), serta menggunakan bahasa yang sesuai (berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik).
Permasalahannya adalah kita tidak cukup berani untuk menyampaikan pendapat melalui mulut. Menulislah, jika memang demikian. Kritis hanya di dalam hati saja tidak cukup untuk melakukan apa-apa, jadinya sama saja dengan diam: nggondok. Tuangkan dalam sebuah gagasan, ucapan, tulisan, dan lebih baik lagi aksi yang nyata.
Jika memang kita menjadi manusia yang tidak cenderung memilih untuk diam, niscaya jika segala peraturan yang sangat berat sebelah dan keputusan yang berat sebelah dari sebuah negara akan mulai berkurang.

Salut kepada orang-orang yang sudah berani angkat bicara, sekalipun kadang dianggap sebagai pecundang, pengacau keamanan, atau apalah. Sesungguhnya, kalian lebih hebat daripada yang sekedar mengolok-olok. Gagasan kalian, kekritisan kalian, ide kalian, bahkan tindakan nyata kalian dibutuhkan bangsa ini. Dan bagi yang masih hanya bisa diam, belajarlah lebih dalam lagi untuk tidak diam.