Minggu, 03 Februari 2013

Wanita di Atas Jembatan

Namaku Budi Susilo. Dan aku tinggal di sebuah desa di Kertosono. Ya, sebuah kota kecil yang berada di pinggiran Sungai Brantas. Aku hidup disitu sejak kecil. Tepatnya semenjak kedua orangtuaku berpisah, dan aku terpaksa ikut dengan ibuku ke Kertosono. Sampai hari ini, aku tak tahu keberadaan ayahku. Sebenarnya, kalau diminta memilih, aku tak ingin berada dalam kondisi ini. Ketika itu aku masih 8 tahun dan sudah menjalani suatu kekelaman dalam hidup.
Usiaku sudah beranjak dewasa, 22 tahun. Aku hanya lulusan SMK di kota kecil ini. Ibuku sudah tua, lebih dari paruh baya tepatnya. Suatu hal yang tidak mungkin ketika aku masih harus menggantungkan hidupku kepada ibuku yang hanya menjadi penjual pecel di terminal lama Kertosono. Sebagai tindakan nyata keinginanku ini, aku bekerja di sebuah toko yang menjual Tahu Pong di sebelah timur Jembatan Bra'an, jembatan cukup panjang, sempit, namun menyimpan berbagai cerita yang membentang di atas Sungai Brantas itu. Baru 4 bulan ini aku bekerja di tempat itu, dengan penghasilan yang lumayan. Setidaknya cukup untuk makan sehari-hari. Itu saja. Aku sudah cukup bahagia. Meskipun ada satu kekurangan. Aku belum memiliki jodoh.

****

Namaku Budi Susilo. Subuh sudah menjelang, tanda aku harus bersiap untuk bekerja. Toko yang aku jaga buka pukul 08.00 pagi. Sehingga aku harus bersiap untuk berangkat pukul 06.30. Aku tak punya apa-apa. Hanya sepeda onthel kesayangan saja yang setia mengantarkanku pulang-pergi dari rumah ke toko. Tak butuh waktu lama untuk tiba di tempat kerja. Paling lambat pukul 07.00 aku telah tiba karena rumahku hanya berjarak 6 km dari toko.
Dialah Ny. Susilawati, pemilik toko yang aku jaga ini. Tidak seperti pemilik toko yang lainnya yang suka membentak dan pelit, Ny. Susilawati ini sangat baik kepadaku. Juga kepada setiap pelanggan yang datang ke toko, Ny. Susilawati selalu memberikan sapa dan senyumnya kepada pelanggannya. Usianya hampir sama dengan ibuku. Beliau berasal dari Kediri, lengkap dengan logat Jawanya yang begitu kental dan medhok. Hubunganku dengan Ny. Susilawati sangat intim, bagaikan ibu dan anak. Tak jarang aku curhat dengan Ny. Susilawati. Tak jarang juga Ny. Susilawati membuka pembicaraan denganku, tentang hidup. Terutama, tentang jodoh.
"Kamu itu wis tuwek Bud itungane," Ny. Susilawati membuka percakapan ketika kami sedang membungkus tahu dalam besek untuk kami kirim ke Surabaya.
Aku terdiam. Aku sudah tahu arah pembicaraan ini.
"Wis umur 22, wis wayahe kawin, tapi kok yo aku belum pernah lihat kamu nggandeng cewek sama sekali to yo selain ibumu dhewe. Kamu menyimpan masalah dalam hatimu ya?" Ny. Susilawati melanjutkan percakapan.
Setiap percakapan selalu berakhir begini. Kalau tidak hanya senyumku saja yang mengembang, ya wajah manyunku yang aku keluarkan. Tidak ada kata-kata yang bisa kuucapkan untuk menjawabnya. Hanya berakhir dalam refleksi dalam hati saja akhirnya.

****

Namaku Budi Susilo. Sudah 7 hari berturut-turut Ny. Susilawati membicarakan masalah jodoh. Entah apa maksudnya. Yang jelas, tidak mungkin ketika Ny. Susilawati akan menjodohkan anaknya denganku, sementara anaknya lulusan universitas terpandang di luar negri sedangkan aku hanya lulusan SMK. Saking kalutnya suasana hatiku, terbawalah sudah persoalan pelik ini ke rumah, hingga ibu pun yang biasanya tidak pernah mengungkit masalah jodoh, karena memang memberikan kebebasan bagiku untuk memilih, tiba-tiba mengungkit masalah jodoh.
Pagi ini aku berangkat kerja. Sedikit lebih pagi. Hatiku masih tidak karuan gara-gara 7 hari ini pembicaraan di toko melulu masalah jodoh. Pikiranku kosong, hingga aku melintasi jembatan Bra'an. Yah, hanya 1-2 mobil dan bus antarkota yang melewati jembatan itu pagi ini. Sembari menyusuri perlahan, aku memandang keseluruhan jembatan. Dari atas ke bawah, dan dari segala penjuru mata angin. Tatapanku terhenti ketika aku melihat sesosok wanita di tengah jembatan ini. Ya, tepat di bagian tengah jembatan. Tatapannya kosong mengarah ke sungai, pipinya sembab, daster masih melekat di tubuhnya bersama sandal jepit. Mungkin, ia baru saja bangun tidur dan langsung pergi ke jembatan untuk menikmati udara segar pagi hari.
Sejenak aku memandangnya, tidak ada yang aneh. Kakinya masih menyentuh tanah. Tapi pandangannya kosong. Cukup cantik wajahnya, dan ideal segala-galanya sebagai seorang wanita. Aku tetap melihat, sejenak namun terasa sangat lama, sembari mengayuh sepedaku dengan santai.
"Ah, palingan mbaknya rumah seberang itu lagi pengen jalan-jalan," gumamku sembari berlalu dan melanjutkan perjalanan ke toko.
Demikian juga 3 hari berikutnya, aku senantiasa melihat wanita itu dalam pose seperti itu sedang berdiri di tempat itu, pada waktu yang sama. Namun, selalu wanita ini tidak kutemui ketika aku kembali dari pekerjaanku sore harinya.

****

Namaku Budi Susilo. Hari ini adalah hari keempat, jika wanita itu masih tetap pada waktu, posisi, dan tempat yang sama berdiri di Jembatan Bra'an. Tepat hari ini hari Minggu. Aku tidak bekerja karena memang setiap hari Minggu ada shift yang menggantikanku, sehingga aku bisa libur. Secara iseng, aku bergegas dengan sepeda onthelku ke Jembatan Bra'an. Pagi itu masih pukul 06.00, jalanan sepi karena hari Minggu.
Wanita itu sudah berada pada tempatnya dalam posisi yang sama. Kali ini ia mengenakan kaos biasa dan celana selutut serta sendal jepit. Kesederhanaan terpancar melalui wajahnya kali ini, meskipun tatap matanya tetap kosong dan pipinya tetap sembab.
Segera aku memarkirkan sepedaku dan berdiri di dekat wanita itu sembari ikut-ikutan menatap alur sungai. Lurus terus, fokus. Hingga tak terasa 15 menit berlalu. Tak ada percakapan di antara kita. Aku berinisiatif membuka percakapan.
"Halo mbak," bukaku
Wanita itu tetap diam
"Lagi ngapain mbak disini? Hari Minggu ini cerah lho mbak. Kok cuma menangis di tepian jembatan sih?"
Wanita itu tetap diam. Pipinya mulai basah, ekspresinya masih tetap datar, tanpa senyum. Tatapannya masih menatap sungai.
Jujur, aku takut dengan wanita ini. Apalagi banyak mitos yang berkembang di jembatan ini. Namun, ah. Buat apa sih mempercayai mitos. Toh wanita ini benar-benar manusia asli.
Keheningan mendera kami kembali selama 15 menit. Tangisnya masih mengalir tanpa kata-kata.
"Ya sudah mbak, saya Budi Susilo mbak. Rumah saya di dekat terminal lama, masuk dikit. Salam kenal aja ya Mbak. Maaf sudah mengganggu. Saya pulang dulu," tutupku untuk segera mengakhiri pembicaraan satu arah ini.
Aku segera kembali mengayuh sepedaku ke rumah. Waktu masih pukul 06.45 dan wanita itu masih tidak berucap satupun kata.

****

Namaku Budi Susilo. Aku bangun pagi, sedikit membantu ibuku menyiapkan nasi pecel untuk dijual, membungkusnya 1, dan kubawa untuk nanti di tempat kerja. Aku berangkat lebih pagi. Tujuanku satu, menemui wanita di jembatan itu, dan sekedar bercakap kepadanya. Barangkali hatinya lebih tenang sekarang.
Sepedaku ku kayuh dengan penuh semangat akan hari baru ini. Senin. Setibanya di jembatan, kusandarkan sepedaku, dan kuhampiri wanita itu. Tatapan matanya masih kosong, namun pipinya sudah tidak sembab. Daster yang dipakainya berwarna cerah. Mungkin moodnya membaik hari ini.
"Hai, sudah nggak nangis?" Sapaku
Diam cukup lama
"Eh, ini ada nasi pecel. Sebenarnya sih buatan ibuku. Monggo dimakan. Kamu keliatannya belum sarapan," Ucapku sembari menyodorkan satu set lengkap nasi pecel dengan lauk telur ceplok dan peyek.
Wanita itu menatapku, ada secercah cahaya kehidupan, sedikit tersenyum, lalu mengambil nasi pecel yang kuberikan ini. Aku tersenyum. Aku bahagia. Sementara wanita itu makan dengan lahap.
"Oh, ternyata dia selama ini kelaparan," gumamku tanpa disadari wanita itu.
Hening. Hanya suara raungan mesin truk yang sesekali lalu-lalang, kemudian hilang.
"Kau tahu?" Wanita itu tiba-tiba bersuara di tengah kegiatan makan pecelnya.
"Bebanku begitu berat,"
"Beban apa? Bukankah wanita sesempurnamu seharusnya tidak punya beban?" Timpalku
"Seharusnya. Tapi kenyataannya?"
Hening.
"Eeeh, maaf sebelumnya...eee...kalau boleh tahu, nama kamu siapa?" Bukaku kembali
"Oh, maaf, tadi lupa mengenalkan diri. Aku Elys. Rumahku ada di seberang sungai. Sebenarnya, aku kuliah di Surabaya. Kenyataan hidup ini membuatku berhenti....."
"Mungkin kamu bisa ceritakan kepadaku. Aku bisa dipercaya kok."
Hening. Suara tangis sesenggukan pecah. Elys menangis. Sesegera mungkin aku menenangkannya. Aku sadar, bahwa beban hidupnya bukan beban biasa. Aku membujuknya untuk segera pulang, dan kuantarkan sampai ke depan rumahnya yang cukup mewah bagiku. Lalu aku pamit untuk bekerja.
Setibanya di rumah, aku segera membuka percakapan dengan ibuku.
"Bu, tadi aku ketemu cewek. Namanya Elys...."
"alhamdullilah leee...ibuk ikut seneng...."
"Sek to buk, iki ono lanjutane. Elys iku lho buk, anaknya Pak Richard yang rumahnya di deket Brantas."
"Oalah itu to le. Yang barusan putus kuliah itu to le? Eman lho le. Padahal areke iku yo pinter. Wong tuwone yo kecukupan, turah-turah malahan. Tapi...."
"Tapi opo buk?"
"Yo ngono lah le...Koyo bapak ambi ibu mbiyen. Terancam pecah keluarganya. Nek jarene Bu Rukiyem, malahan Elys kuwi hamil, tapi ra ngerti sopo sek ngehamili."
Aku tercekat, merenung, dan memandang ibu dengan tatapan mata mendalam.
"Ditambah jarene semenjak hamil iku, teman-temannya di kampus sering menekan Elys. Mesakno le."
Percakapan segera aku akhiri. Dan segera menutup mataku untuk besok pagi, kembali menemui Elys.

****

Namaku Budi Susilo. Sepedaku ku kayuh dengan cepat ke arah jembatan. Ternyata Elys masih ada disitu. Pandangannya tak lagi kosong. Ada sedikit senyum dan kelegaan di wajahnya. Segera ku hampiri Elys.
"lys, kamu gak....."
"Aku sehat Bud. Kondisiku sudah cukup baik. Dan aku tahu, kamu sudah tahu semua masalah yang aku hadapi."
"Ya meskipun belum semua sih, tapi aku tahu itu berat. Aku butuh waktu 8 tahun untuk bisa memaafkan kondisiku dan kesalahanku ketika itu."
"Nggak perlu selama itu. Karena dua hal."
"Apa Lys?"
"Satu, ada kamu disini, seorang lelaki yang berani menyapaku karena aku selalu sendirian disini. Aku jadi lebih merasa ringan ketika kamu mau sedikit menyapa. Sebelumnya, aku mengira semua orang jahat kepadaku."
"Oh.....baiklah jika kehadiranku membuatmu nyaman," Aku bahagia
"Kedua, aku tidak perlu menunggu 8 tahun atau 12 tahun untuk menyembuhkan lukaku dan bebanku ini."
"Lantas?"
"Hari ini bisa aku selesaikan semua bebanku."
"Kamu mau.........bunuh diri? Cara kuno yg cukup terkenal dilakukan di hutan-hutan di Kertosono ini?"
"Ya. Dengan kematian. Aku bisa menyelesaikan semuanya."
"Lys, aku iki wong goblog, ora sekolah. Tapi aku ngerti Lys kalau bunuh diri itu dosa. Bunuh diri itu gak menyelesaikan...."
"iya. Tapi kenyataan selalu bilang bahwa kematian menyelesaikan segalanya."
Aku terdiam. Jawaban filosofis itu membuatku tak bisa berpikir karena memang aku tak pernah diajari berpikir ke arah sana.
"Coba bayangkan. Di sungai ini pernah hanyut banyak mayat korban PKI. Dendam mereka, masalah mereka hilang dan sirna ketika jasad mereka telah mengapung di Brantas ini. Segala urusan yang rumit, menjadi mudah tatkala mereka sengaja dimatikan dan dibuang begitu saja. Begitu juga dengan diriku."
Aku tetap diam. Aku yakin itu salah. Tapi apa yang dikatakannya merupakan pembenaran dan benar juga adanya.
"Bud, aku berterima kasih atas sekian hari ini. Kamu sudah meluangkan waktumu bagiku. Aku lega, dan aku menemukan jawabannya sekarang. Dengan kematian."
Aku masih terdiam. Tak percaya. Seorang yang begitu sempurna di mataku dan sudah memperoleh tempat di hatiku, berpendidikan tinggi, namun ternyata pikirannya dangkal juga.
Sebelum aku tersadar, Elys sudah melompat dari tepian jembatan ke Sungai Brantas. Byur. Tanpa bekas. Tanpa ada orang yang melihat. Tanpa teriakan tolong. Tanpa riak air di Sungai Brantas.
Aku ketakutan jika nanti disangka sebagai pembunuh. Aku bergegas mengayuh sepedaku pulang ke rumah, dan tidur di amben depan dengan wajah pucat pasi.

****

Namaku Budi Susilo. Pagi ini aku panik atas kejadian kemarin. Aku yakin, itu hanya ilusi saja. Aku bergegas ke Jembatan, tanpa persiapan. Aku memang bersiap membolos kerja. 
Ternyata, Elys masih berdiri di jembatan. Aku cukup lega karena kejadian kemarin memang benar-benar ilusi saja. Kali ini wajahnya lebih sumringah. Lebih segar, dan aku lebih suka memandangnya.
"Hai Elys." Sapaku
"Hai Budi."

"Gimana? Udah lebih baikan lagi?"
"Udah Bud. Eh, Bud, aku pengen nunjukin sesuatu ke kamu. Tentang penyelesaianku..."

"Kematian? kamu masih berpikir kematian?"
"Ikutlah aku. Tak sesakit yang kamu kira, dan semuanya akan selesai tepat waktunya, tanpa beban."
Tanganku digandeng Elys, melompat dari tepian jembatan. Jiwaku melayang. Aku merasakan kebebasan hakiki yang belum pernah aku alami sebelumnya. Lepas bebas. Tidak ada beban. Hanya kebahagiaan di dalam pandanganku. Segala masalah berlalu. Simfoni dan elegi masa lalu mengalir di dalam pandangan ku saat ini. Aku bahagia. Aku senang.

****

Namaku Budi Susilo. Entah mengapa aku kini merasa melayang-layang. Aku bisa melihat tulisan namaku di headline koran "Sepasang Sejoli Tewas Setelah Melompat dari Jembatan Sungai Brantas, Bra'an, Kertosono". Aku juga bisa melihat dengan jelas tulisan namaku di batu nissan serta pemandangan mengenaskan, ibuku berkali-kali pingsan karena tidak terima dengan keadaan ini, dan lumpuh karena stroke berhari-hari setelah aku merasa jiwaku hanya melayang-layang.

****

Untuk memori senantiasa tersaji melintasi Jembatan Brantas Bra'an Kertosono.