Senin, 28 Januari 2013

Tidak! Untuk Jogja Sebagai Ibukota Indonesia

Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu nominasi dari beberapa nominasi lainnya untuk daerah yang akan dijadikan ibukota Republik Indonesia. Kegalauan, ketakutan, dan segala rasa kecuali senang dan bahagia bercampur aduk di otak.
Mungkin, saya adalah satu dari sekian orang yang tidak setuju ketika Jogjakarta dijadikan sebagai Ibukota RI. Apapun alasannya. Entah secara historis karena Jogjakarta pernah menjadi Ibukota RI ketika masa agresi militer Belanda, atau entah karena alasan lainnya. Jogjakarta, sebagai sebuah provinsi yang cukup luas, memungkinkan untuk dijadikan sebagai sebuah ibukota negara. Ditambah lagi setelah ini akan ada bandara internasional yang bisa dibilang besar di daerah Kulon Progo.
Ketidaksetujuan saya bukan karena saya dibayar atau karena tanpa dasar apapun. Sudah sebaiknya dan selayaknya Jogjakarta hanya sebagai kota budaya, paling mentok kota wisata saja. Tidak perlu menjadi ibukota negara.
Ibukota akan senantiasa condong ke arah kapitalisme dan modernisme. Gedung-gedung tinggi akan segera dibangun dan bercokol di tanah Jogjakarta. Globalisasi akan menerjang dengan dahsyatnya. Bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin jika segala kegiatan, bisnis, ekonomi, dan tetekbengeknya akan berpindah ke Jogjakarta sekalipun telah dicanangkan Jakarta dan Surabaya sebagai pusat bisnis dan ekonomi di kemudian harinya. Perpindahan pusat dari segala pusat inilah yang berbahaya. Segala macam budaya akan bercampur di Jogjakarta. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa orang yang datang akan sangat acuh tak acuh dengan budaya di Jogja sendiri, dan akhirnya mereka menciptakan atmosfer sendiri yang sama sekali tidak menyatu dengan budaya yang biasa terjadi di Jogjakarta. Akibat terakhir dari hal ini adalah kesenjangan sosial dan segala fasilitas yang ada di Jogjakarta bukan lagi untuk menghidupi masyarakat Jogja, namun untuk menghidupi pendatang-pendatang yang tidak mau membaur tersebut.
Sudah jelas akibat perpindahan ibukota tersebut kepada budaya yang ada di Jogjakarta sendiri. Apalagi elemen-elemen pelestari budaya dewasa ini sudah mulai melemah. Hal ini disebabkan karena elemen pelestari budaya tersebut sudah berusia tua dan generasi muda merasa malu dan enggan menjadi pelestari budaya dan lebih suka mendengarkan dan menikmati produk-produk impor dari luar negri.
Dampak lainnya adalah kemacetan yang tak dapat dihindari. Kondisi Jogjakarta yang sudah padat penduduk dan panjang jalan yang diperkirakan tidak akan mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang ada di kemudian hari. Ditambah kontur yang bergunung-gunung akan menyebabkan transportasi menjadi lebih tersendat dibandingkan dengan daerah yang memiliki kontur yang datar.
Keberadaan pusat kebudayaan akan terdesak hingga akhirnya Jogjakarta menjadi kehilangan taringnya sebagai kota kebudayaan. Mungkin juga Jogjakarta sebagai kota pendidikan akan tergusur juga karena secara perlahan keberadaan gedung-gedung tinggi akan menggeser secara perlahan UGM, UNY, UMY, UAD, USD, UAJY, dan kampus-kampus lainnya bergerak menjauhi Jogja, mungkin ke Magelang, Klaten, atau Purworejo. Demikian juga dengan masyarakat asli yang sudah pasti akan tergusur ke pinggiran-pinggiran. Tentu pembaca semua sudah tahu Jakarta dan masyarakat Betawi. Kebudayaan Betawi harus meredup perlahan-lahan ditelan gemerlapnya kapitalisme ibukota. Ya, meskipun saat ini kebudayaan Betawi kembali muncul meskipun terseok-seok setelah banyak generasi mudanya tersadar kebudayaan Betawi berada di ujung tanduk.
Indeks kenyamanan untuk tinggal di Jogjakarta pun akan semakin menurun. Hingga akhirnya, mungkin, Jogja akan menyusul menjadi kota tidak layak huni.
Segala macam antisipasi dan rekayasa memang mungkin dapat dilakukan. Namun, tidak akan ada yang bisa menduga apa yang terjadi ke depannya. Jogjakarta bukan kota untuk bisnis, bukan kota untuk berdagang, bukan kota untuk bersenang-senang dengan menjadi sampah masyarakat: kebut-kebutan, diskotik, menghamburkan banyak uang untuk sekedar shoping. Masyarakat Jogjakarta adalah masyarakat yang sederhana, care, namun keras. Jangan jadikan Jogjakarta selain kota budaya, kota pelajar, dan kota paling layak huni. Jogja (harus tetap) Berhati Nyaman

Menjadi Dicintai dengan Belajar Berbahasa Daerah

Ketika kita telah bekerja dan secara kebetulan pekerjaan kita berhubungan dengan manusia lainnya, maka kata kunci hubungan tersebut adalah bahasa. Sangat mungkin terjadi dewasa ini bahwa setiap pekerjaan pasti akan bersinggungan dengan banyak manusia di sekitar kita, baik itu rekan kerja maupun klien (pelanggan/costumer) kita.
Bahasa dapat secara jelas membuat hubungan personal dengan manusia di sekitar kita menjadi lebih intim dan lebih baik. Sangat jarang kita temui, terutama di Indonesia ini, orang-orang yang hanya mengandalkan gestur untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Tentu, yang pertama kali diucapkan ketika bertemu dengan manusia lainnya adalah susunan bahasa yang membentuk kalimat dan pada akhirnya terjadi percakapan di dalamnya (uopoooohhh >,,<).
Bahasa persatuan di Indonesia adalah Bahasa Indonesia. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menguasai bahasa Indonesia terlebih dahulu dibandingkan dengan menguasai bahasa asing. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia akan bekerja toh juga di dalam negri saja, terkecuali jika memang sudah sejak awal orang tuanya menginginkan anaknya untuk berjuang di luar negri saja. 
Berbahasa Indonesia dengan fasih, baik, dan benar saja sebenarnya sudah cukup untuk menjalin hubungan dengan manusia di sekitar kita, termasuk klien kita. Namun, hubungan kita dengan klien akan menjadi semakin dekat tatkala kita mampu berbahasa daerah. Tentunya, bahasa daerah yang kita kuasai adalah bahasa yang berlaku di daerah yang kita tinggali/tempat kita bekerja saat itu. Pernah mendengar transmigran dari Gunungkidul, Yogyakarta yang mampu dengan fasih berbicara bahasa Padang karena mereka tinggal di daerah Padang? Belajar bahasa daerah tempat kita bekerja sebenarnya adalah untuk menjalin hubungan persaudaraan yang lebih dekat dengan masyarakat sekitar yang pada akhirnya akan menghilangkan eksklusifitas kedaerahan. 
Tentunya Anda pernah melihat, ketika di daerah Solo dan sekitarnya, hubungan antara pembeli dan pedagang akan menjadi lebih cair dan bersahabat ketika kedua komponen pasar tersebut berbicara menggunakan bahasa Jawa -lebih baiknya menggunakan Bahasa Jawa Krama. Demikian juga hubungan antara diri kita dengan klien ketika kita menggunakan bahasa daerah, maka hubungan pun akan semakin cair. Dalam hubungan dengan sahabat, kolega, dan teman sepermainan dalam forum non resmi pun akan lebih cair ketika menggunakan bahasa daerah. Apa yang terjadi ketika pembicaraan dalam forum non resmi menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang kaku? Garing bukan?
Memang ada sebagian besar orang yang beranggapan bahwa dengan mendewakan bahasa daerah adalah suatu tindakan menuju eksklusifitas. Saya berharap bahwa orang yang beranggapan demikian adalah orang dengan otak dan mental yang dangkal, mengalami retardasi kapasitas otak, dan putus asa karena kesusahan dalam belajar bahasa daerah dan lambat dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Padahal, ketika semua dapat dibawa dalam suasana akrab, maka segalanya akan lebih baik. Meskipun pada akhirnya tidak mungkin kita berbicara kepada seseorang dari Batak yang baru kita kenal dan kemudian berbicara dalam bahasa Batak. Tentu akan kita buka dengan bahasa Indonesia terlebih dahulu, dan sebagai teh hangatnya kita baru menggunakan bahasa Batak untuk lebih mempererat hubungan.
Saya berasal dari Jogja dan saya terbiasa berbicara dengan bahasa Jawa yang sangat halus, sopan, dan jauh dari kata-kata kotor. Saya memaki dengan kata "Asu" (Anjing) saja sudah dilihat orang di sekitar saya dengan pandangan jijik. Begitu juga ketika saya memaki dengan kata "Bajigur, Asemik, Gundhulmu, dll". 2,5 tahun saya berada di Surabaya, meskipun sama-sama di Jawa namun memiliki bahasa yang lebih keras, dan saya mulai beradaptasi. Tahun pertama, penolakan memang datang dari diri saya. Saya tidak mengakui adanya kata "koen" sebagai kata ganti "kamu" dalam bahasa jawa suroboyonan. Hingga suatu saat akhirnya, apa yang saya ucapkan menjadi bahan tertawaan karena logatnya yang 'medhok' dan susah diterima artinya. Akhirnya, saya memberanikan diri belajar bahasa Jawa Suroboyonan yang memang saya sadari cukup kasar bagi saya, namun hingga saat ini membuat hubungan saya dengan orang di sekitar saya, bahkan dengan pedagang di pasar menjadi lebih dekat dan lebih intim. Dan saat ini, saya sedang belajar dan mendalami Bahasa Madura dan Bahasa Jawa Ngapak-Ngapak.
Kata kuncinya bukan pada ketakutan eksklusifitas, namun lebih bagaimana diri kita mampu beradaptasi dengan lingkungan kita. Bukan lingkungan yang mesti beradaptasi dengan diri kita. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, namun bahasa daerah dan budaya di daerah yang jumlahnya bejibun ini juga perlu kita jaga dan perlu kita wariskan bersama-sama. Ketidakmauan beradaptasi terhadap budaya dan bahasa sekitar itulah sekiranya yang justru akan membawa perpecahan dan konflik horizontal di daerah-daerah. Karena perbedaan bukan untuk diolok-olok, namun untuk dipahami dan dilaksanakan bersama. Karena ketika gula pasir mampu menyatu dengan air bening, akan terlihat indah dan kompak.