Rabu, 25 Juli 2012

Andaikan

Andaikan aku seorang pejabat tinggi
Namamu sudah habis dari kemarin sore
Jabatanmu telah kutumbangkan
Hanya karena kemauanmu yang terlalu picik

Andaikan aku seorang yang kaya
Telah kubeli segala kepunyaanmu
Termasuk harga dirimu
Dan kubakar semuanya di depan matamu

Andaikan aku seorang dukun
akan kukirimkan kepadamu santet kelas tertinggi
Juga kepada keluargamu
Agar jeralah dirimu atas segala sikapmu

Andaikan aku tidak beragama dan tidak bertuhan
Sudah ku santet segenap keluargamu hari ini
Kujampi-jami setiap langkah kehidupanmu
Agar kegagalan mendera setiap langkah hidupmu

Namun, aku bukan apa-apa
Bukan semuanya yang disebutkan diatas
Aku hanya manusia kecil yang biasa tak punya apa-apa
Hanya pengaharapanku yang besar, pada belas kasihan dunia
Yang menyelamatkanku dalam segala pengharapan kecilku ini

#the power of reflection
MoKid, 25 Juli 2012
Untuk segala yang telah menerjang luka di hati dengan air aki

Saran Untuk Orang Tua

Tulisan ini bukan untuk mengguri, hanya sebuah sharing saja. Dahulu pernah disampaikan oleh bapak saya melalui berbagai kesempatan yang berbeda. Boleh dianggap omong kosong, tapi suatu saat Anda akan mengalaminya sendiri. Tiap manusia akan merasakan masanya dimana hal yang tidak pernah ia pikirkan atau ia rasakan sebelumnya akan ia rasakan, pada suatu saat.

****

Wahai orang tua, ketika kamu memiliki seorang anak yang telah beranjak dewasa, janganlah lupa bagi kamu untuk mengajarkan kepada anakmu.

1. Ajarkanlah anakmu untuk mengalami kegagalan. Karena ketika anakmu pernah mengalami kegagalan, maka ia akan tahu bagaimana susahnya untuk membangun sebuah keberhasilan. Ia tidak akan terlena dengan mimpi-mimpi panjang karena ia selalu berhasil. Gagal tidak selalu buruk, karena pernah gagal akan membuat sosok pribadi akan menjadi semakin kuat.

2. Ajarkanlah anakmu untuk menghargai orang lain sebagai sesama manusia, tanpa memandang derajad, kasta, suku, atau agama. Memandang semua manusia sama rata seperti bagaimana dirimu memandang dirimu sendiri akan membuat Anda memperlakukan orang lain sebagaimana Anda memperlakukan diri Anda sendiri.

3. Ajarkanlah kepada anakmu bagaimana rasanya mengalami kekalahan. Jika memang hidup adalah permainan, pasti ada yang menang ada yang kalah. Ada kalanya kita akan merasakan kemenangan dan posisi kita berada di atas, namun itu pun tidak akan berlangsung lama. Suatu ketika, bisa jadi posisi akan berada di bawah. Kalah terus-menerus.

4. Ajarkanlah kepada anakmu bagaimana menjadi orang yang mampu berpikir panjang atas tindakannya. Berpikir panjang atas segala dampak yang bisa ditimbulkan dari tindakan yang dilakukan. Sehingga, segala keputusan yang ia buat, bukanlah keputusan yang baik adanya hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga baik adanya bagi orang lain yang berada di bawah keputusannya.

5. Ajarkanlah kepada anakmu segala hal yang baik, namun jangan lupa mengajarkan kepada anakmu segala hal yang buruk. Dengan tahu mana yang baik dan mana yang buruk, maka ia akan dapat membedakan keduanya.

6. Ajarkanlah anakmu bahwa tidak ada manusia yang bodoh. Semua manusia adalah pintar adanya. Namun, pintar dalam bidangnya masing-masing. Manusia punya akal budi, maka ia tidak bodoh. Nampak bodoh hanya karena malas.

7. Ajarkanlah anakmu bagaimana menyayangi keluarga, terutama dengan segala tindakan detail yang kamu lakukan. Menjadi orang tua yang baik tidak hanya baik di dalam rumah dan dengan anggota keluarga saja. Menjadi orang tua yang baik adalah orang tua yang baik, baik itu di dalam rumah maupun di luar rumah, dan baik juga dengan semua orang. Semua tindakan telah dipikirkan dengan matang, agar tidak ada kemungkinan orang luar mengacaukan keluarga karena tindakan keji orang tua kepada orang di lingkungan sekitar.

8. Ajarkanlah kepada anakmu bagaimana caranya mengalah dan bagaimana rasanya kalah. Mengalah untuk sesuatu yang penting. Merasakan bagaimana rasanya kalah, tentu akan membuat jiwa semakin kuat dan memiliki motivasi.

9. Ajarkanlah anakmu bagaimana cara bergaul yang baik, tanpa membedakan segala sesuatunya, dan dapat menyatu dengan alam dan lingkungan sekitar. Membatasi anakmu, sama saja membatasi masa depan keluargamu.

10. Ajarkanlah anakmu untuk pernah kecewa. Karena dengan pernah kecewa, maka ia akan belajar bagaimana caranya agar tidak mengecewakan orang lain.

11. Ajarkanlah kepada anakmu untuk mengusahakan jalan yang sesuai untuk menggapai tujuan. Jalan yang sesuai hati nurani. Perilaku KKN, menyontek, menjatuhkan, menusuk dari belakang, dlsb dlsb adalah jalan-jalan yang tidak harus ditempuh untuk melaksanakan tujuan yang ia inginkan.

Ini hanya sekedar himbauan. Bagaimana orang mengajarkan sesuatu kepada anaknya adalah kekhasan masing-masing keluarga. Tiap keluarga punya caranya sendiri untuk menanamkan suatu nilai kepada anaknya. Yang terpenting adalah jangan biarkan anakmu tidak pernah mengalami kegagalan, kalah, kecewa, tidak pernah menghargai. Karena dengan tidak pernah membiarkan anak anda jatuh dan gagal, anak Anda akan merasa semuanya fine saja, dan ketika gagal ia akan sangat drop, atau sebaliknya karena tidak pernah gagal dan jatuh, maka ia akan mengusahakan segala cara untuk membuat agar dirinya tidak gagal, jatuh, dan malu termasuk dengan cara terkeji sekalipun. Selamat mencoba, selamat berdinamika. AMDG

#the power of reflection

Selasa, 24 Juli 2012

Lelah

Ketika lelah
Tiada mampu lagi hati ini menerjang
Tiada dapat lagi kaki ini melangkah
Deru dan tawa berubah jadi muram

Titi mangsa dan kalanya telah tiba
Tiada lagi tenaga tuk bergerak
Bertalu melawan waktu
Dihempas oleh geraknya jaman nan mengerikan

Kakiku lemas, badanku terkulai
Angan dan harapanku terbujur kaku
Di keranda mayat semalam suntuk
Tak tau arah angin kemana kan membawa

Aku tak punya tembok tuk melepas lelah
Aku tak punya kertas tuk sekedar menulis
Sedikit luapan hati akan kelelahan ini
Aku tak punya cukup hati untuk berbagi kegelisahan

Kemana aku harus meratapi segala milikku ini
Senja yang ada telah berganti menjadi malam kelam
Rambut yang telah lepas akan terus melarikan diri
Hanya tinggal barisan gundul yang mendekam

Aku merenungi segala kelelahan ini
Hanya dalam gelap hatiku,
Dalam kesunyian bibir ini
Dalam kesendirian yang (mungkin) kan berlalu

MoKid, 24 Juli 2012

Pentingnya Pendidikan Religiositas Dalam Pendidikan Menengah

Tulisan malam kali ini sedikit menyerempet mengenai aspek rasa saling menghargai antar umat beragama di Indonesia. Mungkin sedikit keras karena menyinggung tentang perbedaan agama, yang merupakan sebuah krupuk renyah untuk menyulut sebuah konflik.
Agama, merupakan bahan bakar yang paling mudah disulut untuk memulai sebuah konflik. Di Indonesia, khususnya, semua hal, baik itu ekonomi, politik, pendidikan, ujung-ujungnya ketika sudah tidak ditemukan sebuah titik temu dan masing-masing pihak sudah saling membenci, isu SARA lah yang biasanya akan diangkat untuk turut meramaikan konflik ini. Biasanya, yang paling sering diangkat adalah isu-isu agama dengan menyebutkan karena orang ini beragama A, maka tabiatnya pun juga begitu. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa agama pun atau kepercayaan pun dapat mempengaruhi kepribadian dan sikap seseorang terhadap orang lainnya. Percaya tidak percaya, hal ini pun juga terjadi. Namun, hal seperti ini tidak perlu menjadi masalah dan diperdebatkan panjang lebar, apalagi bila sudah menyangkut doktrin-doktrin tertentu.
Perdebatan antar agama tentang memperebutkan bahwa agamanya lah yang paling baik juga merupakan sebuah hal yang umum dan lazim terjadi di masyarakat Indonesia. Bahkan, saat ini tidak hanya orang-orang yang sudah dewasa dalam hal ini telah mumpuni dalam bidangnya yang memperdebatkan hal ini. Bahkan anak-anak pun juga sudah mulai mempergunakan agama sebagai bahan olok-olok. 
Individu di Indonesia, pada umumnya memiliki agama adalah karena faktor 'turunan'. Dalam artian demikian, misalnya saya dilahirkan oleh keluarga yang beragama A, maka secara otomatis saya akan mengikuti agama A. Atau dapat juga berpola agama seorang anak pasti mengikuti agama salah orang tuanya. Jika agama kedua orang tua pun berbeda, maka ia akan memilih salah satunya. Namun, secara umum di Indonesia lebih sering menggunakan pola yang pertama. Sehingga, anak-anak dituntut ya dari awal agamamu itu, sampai mati pun ya harus itu. Hal ini sebenarnya ada baiknya dan ada buruknya. Baiknya adalah bahwa keluarga tersebut dapat mempertahankan bahwa keluarga tersebut seluruhnya adalah beragama A. Buruknya adalah bahwa ketika anak tersebut hanya diajari satu agama saja sejak ia lahir sampai ia mati, tanpa ia diperbolehkan sekedar mengetahui agama yang lainnya. Bahkan ada beberapa keluarga yang menyatakan tabu untuk belajar agama lain selain agama yang dianutnya sendiri.
Pendidikan agama, jika dilihat pun memiliki 2 sisi, menguntungkan dan tidak menguntungkan. Menguntungkan adalah ketika pendidikan agama dilaksanakan ketika pendidikan dasar karena pada pendidikan dasar ini, si anak perlu ditanamkan kecintaannya kepada agamanya sendiri, termasuk segala aspek kognitif mengenai agamanya masing-masing. Sehingga, pada akhirnya, si anak memiliki ketaatan dan kemantaban tersendiri kepada agama yang dianutnya. Pendidikan agama pada masa pendidikan menengah, terutama menengah keatas menurut pendapat saya sendiri kurang tepat. Masa-masa penanaman nilai-nilai agama saya rasa sudah cukup perlu dituntaskan ketika anak-anak mengalami pendidikan dasar. Pendidikan agama hingga pendidikan menengah atas, bahkan hingga kuliah justru kurang memberikan efek yang baik bagi perkembangan individu.
Pendidikan agama yang hanya dengan penekanan pada satu agama yang dianut hingga pendidikan selesai, ditambah lagi bahwa agama itu sifatnya adalah 'diturunkan' membuat orang tidak tahu mengenai agama lain dan akan selalu memandang bahwa agama yang dianutnya lah yang paling baik. Paling baik ini adalah karena tidak tahu agama yang lain. Ibaratnya ketika kita membeli sebuah barang, kita biasa menggunakan barang A dan kita menilai itu yang terbaik karena kita sudah biasa menggunakannya. Padahal, baik barang A,B,C, atau D itu sama saja dan menjadi buruk karena kita tidak pernah tahu apa itu barang selain barang A. Bukan merupakan hal yang tabu untuk mengetahui mengenai agama-agama lain, dan lebih baik lagi kalau mengetahui doktrin-doktrin yang ada. Karena merasa bahwa agama yang dianut ini adalah yang terbaik inilah yang bisa memicu minimnya toleransi. Dan inilah, yang menurut saya, merupakan sebuah bumerang di masa mendatang, terutama akibat pendidikan agama yang dilaksanakan terus menerus hingga proses pendidikan selesai. Lantas, apa yang harus ada? Harus belajar keenam agama yang ada di Indonesia pun juga suatu hal yang mustahil.
Inilah mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama. Hal ini karena Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok kehidupan, dari segala macam agama. Ada memang beberapa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sudah menerapkan Pendidikan Religiositas dalam kurikulumnya. Ketika melaksanakan pelajaran Pendidikan Agama, maka kita hanya melulu memandang suatu permasalahan ya dari agama yang kita anut saja. Tetapi, Pendidikan Religiositas ini dapat memandang secara lebih luas lagi sebuah permasalahan, tidak hanya melalui sisi agama yang kita anut saja, bahkan dari semua agama yang ada dibahas mengenai masalah tersebut. Mulai dari landasan Kitab Sucinya, hingga pendapat para tokoh agamanya. Religiositas mengajak siswa untuk memandang lebih jauh dari berbagai agama sehingga siswa tidak dikurung terus menerus hanya dari satu sisi agamanya saja. Religiositas juga mengajarkan siswa untuk memandang sebuah kasus secara universal. Bukan memandang kasus secara agamis. Ketika seseorang dituntut berpikir secara universal, artinya mencakup semua aspek agama yang ada di Indonesia, maka orang tersebut perasaan untuk menghargai sesamanya akan lebih tinggi.
Pendidikan Religiositas ini menjadi sebuah mata pelajaran yang penting dan perlu diajarkan untuk membuka mata hati kita, bahwa semua agama itu baik. Bahwa semua agama itu memiliki beberapa persamaan pandangan dalam menghadapi berbagai masalah. Dan dengan mengetahui agama yang satu dengan yang lainnya, maka orang pun akan memahami dan tidak akan lagi berkata bahwa agama yang dianutnya lah adalah agama yang terbaik. Kuncinya ada disini, keterbukaan dan rasa saling menghargai. Dengan demikian, harapannya adalah tidak terjadi lagi olok-olok mengenai agama, dan tidak ada lagi yang mengatakan bahwa 'agama saya adalah yang terbaik'.
Tulisan ini tidak mutlak kebenarannya. Namun, beberapa kenyataan memang menyebutkan bahwa hanya tahu (sekedar tahu saja) mengenai agama lain dapat meningkatkan rasa toleransi terhadap orang yang beragama lainnya.

Lelah Berorganisasi

Hari ini, mungkin saya berada pada titik jenuh semua kegiatan saya. Handle 2 organisasi dengan karakteristik yang berbeda sama sekali sangat menguras tenaga untuk semester ini. Belum lagi organisasi lain yang harus saya jalani, meski hanya sebagai penggembira saja. Bukan bermaksud untuk bersombong ria, namun sebagai sarana refleksi pribadi saya yang mungkin juga berguna bagi kawan-kawan yang mulai jenuh berorganisasi.
Berada pada titik jenuh bagi saya adalah suatu hal yang menjemukan. Semuanya terasa menjemukan. Niat untuk hidup sudah minim, gerakan stagnan itu-itu saja tapi kalau mau diubah atau ditingkatkan pun juga sulit. Belum lagi berbagai permasalahan yang memenuhi otak. Dalam keadaan seperti ini, biasanya refreshing kemana pun juga tidak akan berefek pada otak ini. Fresh sih juga fresh, tapi hanya sekejap saja. Dalam keadaan seperti ini, mau diajak tour keliling Eropa pun juga akan sama saja, yang muncul bukan kebahagiaan, tapi beban demi beban yang menyiksa.
Untuk meninggalkan organisasi pun bukan sebuah pilihan tepat. Justru lebih sebagai pengecut kalau lagi dapat stressnya kemudian hengkang begitu saja dari organisasi. Perasaan suntuk pun memenuhi. Berhenti dan pergi begitu saja, kadang terasa hanya seperti seorang pecundang. Bukankah masih banyak yang bisa dilakukan untuk organisasi tersebut? Karena satu-satunya alasan untuk tetap berada pada organisasi adalah untuk menjadikan organisasi itu menjadi lebih baik. Kalau berhenti, maka tujuan yang ada dalam hati kita hanya akan menjadi janji sekedar pemanis di mulut.
Hal yang membuat saya, sampai hari ini masih berada di kedua organisasi yang saya handle ini adalah perbedaan masing-masing individu yang unik. Hanya melihat mereka saja sudah merupakan sebuah kebahagiaan saya. Biasanya, ketika suntuk, maka diskusi-diskusi kecil, sharing pengalaman antar anggota menjadi sangat menarik bagi saya dan meningkatkan motivasi untuk tetap berada dalam wadah ini. Terdengar sangat berat dan teoritis: diskusi dan sharing. Padahal, pada prakteknya, sangat jarang saya mendiskusikan mengenai hal-hal yang sangat serius, bahkan politik pun jarang saya sentuh. Justru diskusi yang sangat ringan, menyentuh, tapi menyeluruh, berisikan mimpi-mimpi yang renyah yang kembali memenuhi motivasi saya untuk terus bergerak.
Ada masanya bagi teman-teman yang terjun dalam organisasi untuk menjadi jenuh. Ada masanya benar-benar ingin berhenti di tengah jalan. Namun, ada yang lebih penting dari hanya sekedar program kerja yang tidak terlaksana ketika hengkang, namun lebih dari sebuah ikatan pertemanan, yakni keluarga. Jadikanlah masing-masing anggota sebagai keluarga. Sharinglah mulai dari hal yang terkecil. Dengan demikian, secara perlahan melalui sharing kecil itu, Anda akan menemukan setitik jawaban dari semua masalah yang berputar di otak Anda. Sharing dan diskusi, bagi saya, menjadi sebuah senjata utama untuk tetap bertahan dalam segala situasi. Jadikanlah posisi Anda dalam organisasi, bahwa teman-teman Anda penting untuk diri Anda dan Anda pun penting untuk kawan-kawan Anda. Ketika Anda hilang begitu saja, tentu akan ada yang hilang baik di hati Anda maupun di hati kawan-kawan Anda.

Kamis, 05 Juli 2012

Dan Manusia Dikendalikan Oleh Mesin

".....Kamu bangun kesiangan karena alarmmu salah? Itu artinya kamu telah dikendalikan oleh mesin. Seharusnya kamu yang mengendalikan mesin. Akan jadi apa kamu?!"

Lebih kurang itu yang disampaikan oleh seorang guru saya yang menjadi seksi tata tertib ketika ospek di SMA. Beliau menyatakan demikian dengan tanpa tersenyum, justru dengan ekspresi sangat marah dan membentak. Saya, ketika itu masih culun dan belum tau apa-apa, kemudian juga marah karena saya merasa apa yang disampaikan guru saya tersebut sangat mengada-ada. Bukankah bangun dengan bantuan alarm itu biasa? Saya memandangnya, hari ini, sebagai sebuah perkara yang besar yang terjadi hari ini. Bukan sekedar mengenai alarm, namun hubungan manusia dan mesin.
Manusia, menurut berbagai kitab suci yang ada, adalah makhluk yang berhak menjadi pengendali atas segala sesuatu yang mati dan yang hidup di atas bumi. Manusia pun diberikan kewenangan untuk menggunakan daya ciptanya. Hingga terlahirlah berbagai alat yang berguna untuk mempermudah kinerja manusia. Alat itu dinamakan sebagai mesin. Pada intinya mesin adalah alat yang mempermudah kinerja manusia dan digerakkan atau difungsikan oleh manusia. Namun, hari ini semuanya telah berbalik bahwa mesin lah yang telah mengendalikan manusia. Sehingga, manusia menjadi mesinnya mesin.
Jaman dahulu, manusia dapat bangun tanpa menggunakan bantuan dari alarm. Bahkan, jaman dahulu belum ada alarm. Orang biasanya akan bangun ketika ayam jantan berkokok pagi hari, saat hari masih gelap, kemudian bangun dan menumbuk beras, memasak, hingga suara dentuman alu terdengar oleh warga seluruh desa dan seluruh warga desa bangun dan bersiap diri untuk memulai pagi tersebut. Hari ini, manusia tidak akan bangun kalau tidak distelkan alarm. Bila tidak ada alarm, ya maka akan bablass sampai entah kapan. Manusia dulu jika bepergian menggunakan apa saja yang ada di depan mata mereka. Ada sepeda onthel di rumah, maka mereka akan menggunakannya. Jika tidak ada sarana transportasi, maka mereka menggunakan kakinya kemana melangkah. Hari ini, anak muda, kalau tidak ada sepeda motor atau mobil tidak mau berangkat ke sekolah atau pergi ke antah berantah. Malu katanya, capek katanya, padahal tepat di depan rumahnya sering lalu lalang kendaraan umum. Begitu juga dengan menulis tugas yang hari ini 'harus' menggunakan komputer karena 'malas', hingga kelulusan seseorang ditentukan oleh mesin entah benar atau tidaknya mesin tersebut dalam membaca jawaban.
Fenomena ini menyedihkan dan tidak disadari oleh siapapun. Kita ketergantungan kepada mesin. Segala sesuatu yang bisa dilakukan manual, maka harus menjadi dilakukan secara otomatis karena mesin dan mesin. Dimanapun berada. Fenomena ini tidak bisa lepas dari budaya instan. Inginnya cepat. Inginnya gampang. Inginnya santai. Akhirnya kita dikendalikan oleh mesin. Tak hanya industri yang mengalami ketergantungan dengan mesin, institusi pendidikan pun kini mulai ketergantungan dengan mesin. Absen yang saat ini mulai full komputerisasi, pengelolaan nilai, pemasukan KRS dan pemunculan KHS. Dan hebohnya serta dengan pongahnya, berbagai institusi ini merasa bangga dengan hadirnya teknologi ini. Bukan bermaksud pesimistis apalagi menghujat, bahwa perlu diketahui bahwa validitas sebuah hal yang dikelola teknologi dapat mencapai 100% dalam kondisi aman. Namun, lebih seringnya teknologi ini mengalami crash hingga validitas tersebut akan menurun hingga 50% yang mengakibatkan salah interpretasi data, hingga menyebabkan ketidak lulusan orang yang bersangkutan.
Fenomena yang demikian ini sangat memprihatinkan, tatkala banyak manusia membangga-banggakan bahwa tempatnya bekerja telah berteknologi canggih padahal ia tidak tahu bahwa sebenarnya saat itu ia telah dikendalikan oleh mesin. Melihat ketidakarifan manusia dalam mengendalikan mesin ini, maka saya menjadi iba dan kembali tidak respek terhadap segala penggunaan mesin dalam kehidupan sehari-hari. Teknologi itu baik, namun ketika Anda dikendalikan oleh mesin, sebaiknya memang roh Anda dicabut dan diisikan dengan mesin. Karena dengan dikendalikan oleh mesin, maka Anda memiliki derajat yang sama dengan robot yang tak punya roh.