Senin, 23 April 2012

Menanti Senja


Menantimu
Bagaikan menanti di tepi jalan tak berujung
Tiada kebahagiaan kan ku dapat
Hanya kepedihan yang ada di hati

Keindahanmu tak kunjung tiba
Senja 3 hari ini begitu buruk rupa
Tak kutemukan merah yang merekah
Hanya petang yang menggelayut jelang malam

Menantimu
Bagiku seakan sia-sia belaka
Segala sesuatu tak menentu
Bahkan tak berujung arah, meraba-raba

Aku merasa, suatu waktu kan tiba saatnya
Tatkala ku tak perlu menantikan senja itu
Senja yang selalu indah di hatiku, menjadi senja yang rutin
Ketika aku akan melewatkan senja itu, biasa saja

Suatu waktu kan ku rasakan
Tiada guna aku duduk termangu
Menantimu yang tak kunjung tiba
Hanya mendung kelam yang tampakkan diri

Ku tak ingin senja yang kunanti termakan dirinya sendiri
Oleh karena ambisinya, bahwa ia ditunggu, ditunggu diriku
Aku ingin senja seperti yang lalu
Senantiasa menunjukkan kebahagiaannya, ketika mentari berucap sayonara
Bukan senja yang mentang-mentang
Dan membuatku harus menunggu lama
Hingga suatu kala kan tiba

Untuk senja yang jauh di hati yang terdalam
MoKid, 23 04 12

Jumat, 20 April 2012

Kau Kembali

Kering sedemikian lama
Panas merekah keringkan tanah basah
Tiada hujan kan datang
Kuanggap tiada kan pernah kembali

Heningnya kering
Buat rona mukaku basah
Kekhawatiranku ketika dingin tak lagi tiba
Panas dan derita kan tiada berujung

Rintikmu, hari ini, kembali menyeruak
panasnya hawa malam ini
Sejuk tiada boleh kan menggantikan rindu
Hadirmu bawakan pengharapan kembali
Panas tiada kan mengganggu tawaku kembali

Hujan kau kembali
Terima kasih kau bawakan senyum bahagiaku
Kesejukan tiada tara yang kau bawa
Boleh kunikmati malam ini

Airmu kembali menelusup ke dalam hatiku
Kau kembali, kembali membasahi hatiku
Yang telah kian hari mengering
Tertelan panasnya bumi

Kau kembali,
Tapi akankah kau benar-benar kan kembali
Demi sebuah mimpi yang kian enggan kucapai?

Puisi Absurd untuk hujan malam ini
Terima kasih atas hawa sejukmu, Hujan
MoKid, 20 04 2012

Selasa, 17 April 2012

Pendidikan Dokter Gigi 5 Tahun: Sunatan Masal

Lama tidak menulis, saya berusaha hadir untuk kembali menulis. Kali ini topik yang, mungkin, sudah tidak segar, sudah lama, tapi ingin kembali saya kupas mengingat urgensinya untuk diketahui khalayak umum. Kali ini, saya akan membahas mengenai akselerasi (percepatan) pendidikan, terutama pendidikan dokter gigi. 
Seperti yang telah diketahui, banyak universitas berlomba-lomba menyajikan pendidikan S1 (Sarjana) dengan waktu pendidikan yang lebih cepat. Normalnya, gelar sarjana ditempuh dalam waktu 4-5 tahun. Namun, karena program percepatan ini, gelar sarjana dapat diraih hanya dalam waktu 3,5-4 tahun saja. Semua pendidikan sarjana mengalami percepatan, tanpa terkecuali pendidikan dokter gigi (PDG) dan pendidikan dokter yang kedua-duanya notabene pekerjaannya berurusan dengan jiwa seseorang. Sesungguhnya, pendidikan sarjana dokter gigi (lulus dapat gelar S.KG) yang dipercepat menjadi 3,5 tahun menjadi sebuah pertanyaan yang besar. Mungkin bagi banyak orang, hal tersebut menjadi hal yang membahagiakan karena pendidikan dokter gigi hanya cukup ditempuh selama 5 tahun sudah termasuk profesi dokter gigi, sementara sebelum ada percepatan ini pendidikan dokter gigi lengkap dengan profesinya paling cepat ditempuh 6 tahun. Namun, kebanyakan orang tidak akan melihat jauh ke depan bagaimana pendidikan yang tidak lengkap yang harus dialami oleh para calon dokter gigi ini.
Lama pendidikan 3,5 tahun saya rasa cukup menjadi penghalang bagi seorang calon dokter gigi. Waktu yang sedemikian cepat ini (anggap saja 1 semester waktu efektif hanya 3-4 bulan saja) harus mampu mempelajari kedokteran dasar ditambah bidang kedokteran gigi. Akibatnya, ketika waktu untuk kuliah saja sudah diperpendek, maka mata kuliah yang ada pun akan semakin diperpendek. Ini berakibat fatal karena apa yang dipelajari akan menjadi tidak menyeluruh. Sementara, yang namanya sistem tubuh tidak dapat dipelajari secara sepotong-sepotong, hanya bagian tertentu saja. Akibatnya, memang benar mahasiswa kedokteran gigi hanya akan mempelajari bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan maksilofacial saja. Maka, yang dirasakan mahasiswa kedokteran gigi pada umumnya adalah ada bagian yang seharusnya mereka tahu, tapi malah hilang. Sehingga, pengetahuan yang diperoleh pun tidak lengkap. Untuk memperoleh hal yang lebih dari mata kuliah melalui sistem SCL pun akan sangat mustahil untuk didapatkan dengan himpitan-himpitan tugas serta jadwal kuliah yang padat (simak tulisan saya selanjutnya mengenai sistem SCL yang disalahgunakan).
Akibatnya pula, ada cukup banyak kompetensi yang sebelumnya bisa dilakukan seorang dokter gigi angkatan tua yang kemudian tidak bisa dilakukan oleh dokter gigi angkatan muda. Akibat lebih fatalnya lagi, adalah bahwa lulusan fakultas kedokteran gigi ini akan menjadi dokter yang tidak utuh, pengetahuannya setengah-setengah karena sistem pendidikan yang hanya mengutamakan asal cepat saja. Maka, jangan salahkan dokter maupun dokter gigi ketika akan banyak dokter yang dianggap bekerja kurang profesional, bila dibandingkan dengan dokter-dokter terdahulu. Salah siapa? Salahkan bangsa kita sendiri yang selalu ingin yang instan-instan dan yang cepat-cepat. Jangan salahkan pula generasi muda yang akhirnya menjadi lulusan yang prematur dan akan menambah panjang rantai kemunduran bangsa Indonesia.