Selasa, 14 Februari 2012

Efektifkah Pencabutan Ijin Operasional Sebuah Perusahaan Otobus?

Sebagai pecinta bis, atau sering disebut sebagai bismania atau bus lover, berbagai kecelakaan yang melibatkan bis antar kota di berbagai daerah memicu saya untuk kembali menulis keprihatinan saya atas apa yang terjadi di tengah masyarakat. Mulai dari yang hanya tabrakan biasa, serempetan dengan kendaraan lain, terguling masuk ke sungai, dan bahkan sampai tabrakan karambol yang menyebabkan belasan korban jiwa.
Ketika kecelakaan bis, semua komentar masyarakat adalah sama mengenai 2 hal ini. Pertama adalah pandangan bahwa bis lah yang pasti salah, kedua adalah (selalu) mengusulkan pencabutan ijin operasional PO (Perusahaan Otobus) tersebut. Anggapan yang pertama ini selalu berkaitan dengan nama PO yang bersangkutan. Jika PO yang terlibat kecelakaan adalah PO yang sering kecelakaan, maka kebanyakan masyarakat akan menyalahkan POnya terlebih dahulu. Kedua pendapat masyarakat umum tersebut, saya boleh mengatakan, adalah pendapat yang nilainya sama dengan nol mutlak, artinya tong kosong nyaring bunyinya, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat bahwa bis selalu salah itu belum sepenuhnya besar. Hukum rimba yang berlaku dengan sangat kaku ini membawa masyarakat umum kepada jalan yang sesat dan menjauhi ranah berpikir kritis dan evidence based: yang besar selalu salah. Misalnya pada kecelakaan PO Sumber Kencono W 7503 UY di Glodok, Magetan vs mobil sedan plat AG. Ketika mendengar kasus kecelakaan tersebut, langsung banyak masyarakat langsung menyimpulkan yang salah adalah PO Sumber Kencono dan media massa beramai-ramai menulisnya sebagai kesalahan bis. Padahal, setelah diusut dengan jelas dan dengan bukti yang ada, kepolisian menyimpulkan bahwa kesalahan terletak pada pengemudi sedan yang mabuk dan mengemudikan kendaraannya terlalu ke kanan. Begitu juga dengan kecelakaan PO Sumber Kencono di Mojokerto yang mengakibatkan 20 orang tewas. Sebenarnya, selain hukum rimba yang masih berlaku di masyarakat (kemudian mengesampingkan hukum yang sah yang diatur dalam perundang-undangan) ini yang membuat seolah-olah yang besar yang salah. Peran pers dalam media massa pun juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi persepsi masyarakat, apalagi masyarakat kita ini suka dengan yang mentah-mentah. Salah satunya, adalah hanya mencerna berita dari satu media massa saja tanpa membandingkan dengan media yang lainnya, yang (mungkin) lebih akurat, lebih tajam, dan lebih baru. Sehingga, yang didapat pun hanya sepenggal-sepenggal. Belum lagi wartawan (beberapa) yang hanya copy-paste dari berita milik kawan-kawannya yang lain tanpa ia tahu apakah berita tersebut benar atau salah (pada kasus di Magetan, plat bis W 7503 UY dan terpampang jelas di bokong bis saja bisa menjadi W 7666 UY).
Pendapat kedua mengenai pencabutan ijin operasional bis, pendapat ini perlu dipertimbangkan jauh lebih dalam lagi daripada hanya sekedar kata-kata nyinyir tanpa tahu seluk beluknya (ya kebiasaan masyarakat luas, kalau berbicara waton njeplak tanpa dipikir dulu). Ijin operasional bis, sebenarnya (kalau tidak salah) berkaitan dengan keberlangsungan sebuah perusahaan. Artinya, ijin operasional dicabut, maka satu perusahan akan dihentikan operasionalnya, tidak terkecuali. Berbeda dengan pencabutan ijin trayek. Ijin trayek dimiliki oleh masing-masing bis. Jadi, jika perusahaan tersebut memiliki 1000 bis, maka ijin trayeknya pun seharusnya ada 1000 juga atau minimalnya dikurangi bis cadangan. Sehingga, kalau pencabutan ijin trayek itu hanya berkaitan dengan bis yang kecelakaan. Misalnya, yang kecelakaan W 7666 UY, maka ijin trayek bis tersebut dicabut, dan jam keberangkatan bis tersebut dari terminal asal, terpaksa dikosongkan. Tujuannya adalah agar permasalahan kecelakaan selesai dulu, baru bis bisa berjalan kembali. Pencabutan ijin operasional yang mencakup seluruh bis dalam satu perusahaan tersebut jelas sangat tidak menguntungkan. Bayangkan saja, jika kemudian satu perusahaan otobus ditutup (ditarik ijin operasionalnya) kemudian tidak ada bis yang melayani trayek tersebut. Misalkan, trayek tersebut dikuasai oleh 200 armada bis, 123 diantaranya milik sebuah PO yang besar dan sisanya dimiliki oleh 3 PO kecil dengan jumlah bervariasi. Jika PO besar tersebut ijin operasionalnya dicabut, apa yang akan terjadi dengan trayek tersebut? Pertama, jelas penumpukan penumpang karena jumlah bis yang beroperasi saja sudah berkurang sebanyak 123 bis. Yang kedua yang terjadi, adalah pasti PHK besar-besaran dengan jumlah minimal yang di PHK adalah 369 orang (1 bis diawaki oleh 1 sopir, 1 kernet, dan 1 kondektur). Jelas-jelas penarikan ijin operasional bis itu sangat tidak menguntungkan, terutama bagi masyarakat (yang asal njeplak tadi pasti tidak memikirkan ini) dan bagi pertumbuhan ekonomi kota-kota yang disinggahi. Trayek kan bisa dibeli bis lain yang masih eksis? Ooo, tidak semudah itu karena ada prosedur panjang yang harus dilakukan. Tidak sekedar seperti membeli permen.
Disini diperlihatkan pula betapa pentingnya sebuah manajemen perusahaan otobus untuk mengurangi tingkat kecelakaan pada bis yang dikelolanya. Penyuluhan secara berkala, sistem penggajian yang baik dan fair kepada setiap kru nya, controling komponen kendaraan berupa komponen fisik dan non fisik, sistem kerja bagi karyawan, serta waktu istirahat yang cukup bagi karyawannya menjadi penting dan menjadi sesuatu yang seharusnya murah untuk menjaga keselamatan banyak orang yang menggunakan bis nya. Apalagi, semuanya telah diatur dalam perundang-undangan. Sebetulnya, tinggal pilihan perusahaan saja. Ingin untung banyak tapi keselamatan sedikit dilalaikan, atau untung sedikit dengan catatan mentaati perundang-undangan dan menjunjung tinggi keselamatan penumpang dan karyawannya.
Jadi, menyalahkan sopir dan perusahaan otobus secara penuh saja sudah kesalahan besar. Kalau masyarakat menyalahkan perusahaan otobus dan sopir, maka saya kembali menyalahkan pemerintah dan masyarakat atas 2 hal yang perlu dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan masyarakat. Untuk pemerintah, adalah perlunya kembali meninjau sarana prasarana, berupa jalan dan rambu yang terpasang. Sudahkah layak? Sudahkah sesuai dengan kenyataan di lapangan? Saya kira belum. Masih untuk pemerintah juga, sejauh mana pengawasan dan pengontrolan terhadap standar mutu pengguna kendaraan bermotor melalui pembuatan SIM? Tidak hanya sopir bis dan truk saja yang perlu lisensi, melainkan juga seluruh masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Ini artinya ada yang tidak beres. Buktinya, ada pengemudi yang lalai, dan ada juga (bahkan amat sangat banyak) masyarakat umum yang lalai dalam mengemudikan kendaraan bermotor. Untuk masyarakat umum, seberapa besarkah Anda sekalian memahami yang namanya peraturan lalu lintas dan etika berlalu lintas? Sudah pahamkah Anda mengenai tanda-tanda (sein, lampu hazard dan tanda-tanda lainnya) yang biasa digunakan di jalan antar kota? Sudah pahamkah Anda bahwa karakteristik jalan antar kota akan sangat berbeda dengan jalan dalam kota apalagi hanya antar kampung?
Tulisan ini bukan untuk sebagai sebuah pembelaan, melainkan membukakan mata Anda sekalian para pembaca, terutama yang belum paham dan sekedar berkoar-koar untuk mencabut ijin operasional. Kecelakaan dapat disebabkan oleh berbagai hal, dan kecelakaan disebabkan oleh multifaktor yang tidak bisa secara singkat langsung disimpulkan siapa yang bersalah. Anda, saya, dan kepolisian perlu untuk tahu ini, sehingga bisa berpikir kritis setiap kali ada kecelakaan. Bukannya waton njeplak. Kecelakaan bisa terjadi pada kita semua, tak peduli waktu. Bisa jadi ketika Anda beribadah, tempat Anda beribadah ditabrak truk yang mengalami rem blong. Maka, jangan takut untuk menaiki kendaraan umum semacam bis. Kalau Anda berpikiran akan kecelakaan, maka Anda akan benar-benar kecelakaan. Ketika Anda lebih memilih menaiki kendaraan pribadi, maka resiko kecelakaan itu akan menjadi 40% lebih besar daripada ketika Anda menaiki angkutan umum.

Senin, 13 Februari 2012

Don't Judge The Book

"Don't judge the book by the cover"


Lebih kurang memiliki arti, jangan menganggap remeh seseorang hanya dilihat dari baju yang ia kenakan atau penampilannya. Prinsip ini ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh orang Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia akan memandang orang, bahwa orang tersebut baru layak diberikan penghargaan bila memenuhi kriteria menggunakan sandang yang cukup 'wah', membawa mobil pribadi yang cukup 'wah', dompet yang ketika dibuka berisi kartu kredit atau uang cash yang banyak, jabatan yang tinggi di mata masyarakat, dan yang terakhir yang membuat orang lain dihargai adalah tutur kata dan tindak tanduknya. Memprihatinkan bahwa tutur kata yang halus dan tindak tanduk yang sopan tidak lagi menjadi titik ukur untuk menentukan baik buruknya seseorang pada pandangan pertama.
Saya ingin bercerita, bukti bahwa cukup banyak orang Indonesia yang masih memandang 'cover' orang lain untuk menentukan baik-buruknya orang tersebut. Suatu ketika, saya berkesempatan tinggal cukup lama di Jogja. Lebih kurang 3 hari. Saya ingin pergi ke Pasar Beringharjo untuk survey kain batik. Konon katanya di Beringharjo pedagangnya ramah, kiosnya mulai tertata, dan harganya murah. Maka berangkatlah saya ke Pasar Beringharjo. Seperti biasa, seperti style saya di Jogja pada biasanya, saya hanya menggunakan celana jeans yang sudah cukup kumal, jaket yang sudah 2 minggu tidak dicuci, tas kecil yang saya selempangkan mirip mendreng (penagih uang panci), dan tak lupa sandal jepit Swallow warna hijau. Kebiasaan saya memakai style seperti itu ya karena santai dan sekaligus hemat pakaian. Meskipun baju demikian, saya tetap menjaga tingkah laku dan tetap berbicara dengan bahasa krama inggil ketika berhadapan dengan pedagang. Singkat kata, saya bertemu pengemis. Orang-orang di depan saya dimintai semua. Tapi, gilirannya saya seharusnya dimintai, karena style saya yang sedemikian kumal, saya dilewati saja oleh pengemis (bahkan pengemis itu memandang saya dengan pandangan yang tidak enak, mungkin dikira pesaing). Lebih parahnya lagi, adalah ketika saya telah sampai di Pasar Beringharjo. Ketika saya tengah memilih batik, sejak awal pandangan ibu-ibu penjaga toko sudah tidak enak. Saya dipandang sebagai seolah-olah seseorang yang akan mencuri gulungan kain batiknya. Karena penjual sangat tidak bersahabat, akhirnya saya pergi begitu saja, tetap dengan mengucapkan terima kasih dan pamit kepada penjual tersebut.
Kenyataan yang sangat memilukan, bahwa memang ternyata tidak seorangpun yang ada di Indonesia yang tidak materialistis. Artinya, semua orang Indonesia materialistis. Orang yang baik pasti penampilannya rapi, naik mobil mewah, berdompet tebal, rumahnya bagus, meskipun tutur kata dan tingkah lakunya tidak terlalu baik. Orang baikkah yang ada di Senayan dan terlibat kasus korupsi? Mereka juga berbaju rapi, wajahnya dan mulutnya manis, dompet tebal, mobil mewah, dan lain sebagainya. Orang jahatkah para tukang becak yang berbaju kumal dan kesehariannya hanya di dalam becak? Tidak juga, bahkan kebanyakan orang yang menunjukkan arah dengan baik adalah tukang becak, bukan orang berdasi yang jika ditanya malah menjawab dengan pongahnya.
Kenyataan yang menyakitkan adalah bahwa buku-buku kedokteran yang baik dan sudah lama (dan biasa dipakai) memiliki sampul yang buruk, terkelupas, atau kusam. Lalu, buku kedokteran itu buruk? Ilmunya salah semua? Justru tidak kan? Justru buku-buku ini banyak dicari orang, dan ilmu yang ada di dalamnya tidak lantas salah karena sampulnya yang buruk. Maka, perlakukanlah orang-orang yang Anda temui sepanjang hidup Anda seperti Anda ketika melihat buku kedokteran ini. Hargai mereka sesuai hakikatnya sebagai manusia yang sama-sama perlu saling menghormati dan menghargai. Anda tidak perlu menaruh curiga pada setiap orang. Ilmu menaruh curiga pada setiap orang, itu adalah ilmu yang salah besar dan hanya akan memicu permusuhan. Ketika Anda menaruh semacam penghormatan kepada orang lain serta sikap tidak curiga dan rasa welcome yang besar, maka niscaya Anda tidak akan kena tipu. Hargailah orang di sekitar Anda. Berbicaralah dengan bahasa yang pantas dan mudah dimengerti. Jangan berbicara bahasa Sunda kepada orang Jawa Timur, dan jangan berbicara bahasa jawa ngoko kepada yang lebih tua. Janganlah tinggi hati, bila lawan bicara Anda tinggi hati. Berbicaralah dengan halus, dan jauhkanlah dahulu kesan pamer. Tunjukkan bahwa Anda adalah orang biasa yang tidak punya apa-apa, meskipun Anda memiliki segalanya. Dengan demikian, Anda akan belajar secara perlahan untuk tidak memandang orang hanya dari sekedar pakaian dan atribut yang digunakan. Melainkan, bagaimana orang tersebut memperlakukan kita.

Senin, 06 Februari 2012

Ubahkan Pikiranmu

Keprihatinan ini menuntun saya untuk menulis (kembali) dalam blog saya yang sederhana ini. Mungkin ini pandangan saya pribadi, tapi (mungkin) menjadi pandangan kebanyakan orang di Indonesia.
Masih tentang Kolese, khususnya Kolese milik Jesuit, atau lebih dikenal milik romo-romo ordo Serikat Jesus (SJ). Saya menulis ini bukan karena sedang banyak yang menulis tentang Kolese, tapi saya merasa bangga bisa mengenyam pendidikan di Kolese milik Jesuit, SMA Kolese De Britto. Jesuit sendiri memiliki 8 Kolese di Indonesia yang terdiri dari SMA Kolese Kanisius (Jakarta), SMA Kolese Aloysius Gonzaga atau lebih dikenal sebagai Gonz (Jakarta), SMA Kolese Loyola (Semarang), SMA Kolese De Britto (Jogjakarta), SMA PIKA (Semarang), SMA St. Mikael (Surakarta), SMA Le' Cocq D Armanville (Papua), dan Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan (Magelang) yang diisukan kepemilikannya akan diambil alih oleh Keuskupan Agung Semarang. Kolese-kolese ini memang berbeda secara nama, namun nilai-nilai yang diperjuangkan adalah sama. Kami tidak dituntut sama dalam menjalani pendidikan di kolese ini, namun kami dituntut untuk menjadi pribadi yang benar-benar khas dan memiliki ciri khas yang unik sesuai karakter masing-masing pribadi.
Kembali ke topik utama, Kolese ini mengubahkan pikiran saya. Banyak hal yang membuat saya harus mengubah pandangan saya selama ini, terutama setelah saya sekolah di kolese. Pandangan saya yang pertama adalah bahwa orang yang pintar dalam pelajaran pasti adalah orang yang rapi, tutur katanya terjaga, rambut potongan cepak, dan kadang berkacamata. Pandangan saya dimentahkan ketika bersekolah di sini. Justru teman-teman saya yang juara olimpiade malah potongannya tidak rapi-rapi amat (di kolese tempat saya bersekolah, kalau rapi itu malah pasti sedang kena hukuman). Tutur katanya juga sama saja dengan teman-teman yang lainnya, dan wajahnya juga sama sekali tidak menunjukkan kalau dia pintar dalam bidang mata pelajaran. Malah cenderung pekok (bodoh, lugu, dan lucu bercampur jadi satu). Bahkan, yang wajahnya mbladhus-mbladhus (tidak karuan bentuknya) bahkan yang gondhes-gondhes yang biasanya identik tawuran dan tarikan di jalan raya, ternyata juga memiliki prestasi dalam berbagai hal. Bahkan, di Kolese Gonzaga (kalau tidak salah) untuk bisa berpenampilan mbladhus dan gondrong harus memiliki nilai diatas 70 (bayangkan di kolese untuk mendapatkan nilai 65 saja kadang sangat susah). Ini yang mengubah pandangan saya, memang benar kata-kata don't judge the book by the cover. Jangan pandang seseorang dari penampilannya saja, melainkan dari segala sisinya. Pintar pun tak harus rapi, bersih, tutur kata terjaga, dan jaim. 
Pandangan kedua yang berhasil dimentahkan adalah mengenai kebebasan. Bagi saya, dulu, kebebasan itu adalah suatu hal yang benar-benar sebebas-bebasnya, bebas lepas tanpa ada aturan. Kolese ini berhasil menambahkan kata bertanggung jawab di belakang kata bebas, sehingga menjadi bebas bertanggung jawab.  Pandangan banyak orang tentang kebebasan itu bisa dikatakan salah. Bebas yang baik adalah bebas yang bertanggung jawab. Artinya, kita dapat bertingkah laku bebas tanpa harus memakan atau mengurangi hak orang lain. Bebas dalam koridor kebebasan yang baik. Bebas pun belum tentu ada aturan. Yakinkah Anda jika bebas tanpa adanya aturan akan menjadi sebuah kebebasan yang bertanggung jawab? Saya rasa nihil besar. Di Kolese tempat saya sekolah ini, meskipun segala-galanya bebas, tapi tetap ada peraturan yang berlaku. Bahkan berlakunya lebih ketat. Sekolah lain, terlambat 1 menit masih boleh masuk. Di sekolah saya ini, bahkan pernah saya terlambat 1 menit lebih sedikit saja sudah diminta menghadap Sub Pamong (sejenis guru piket, tapi bukan guru piket. Jabatan yang berada di bawah Wakasek Kesiswaan). Kemudian, atas keterlambatan itu kami dihukum mulai dari push up, sit up, lari keliling lapangan hingga 50 kali (kadang dicicil), mencabuti tapak dara (tanaman yang sangat susah dicabut dan buat tangan sakit) di lapangan, hingga memandikan patung John De Britto sebesar itu di halaman kelas XII (ini pekerjaan paling memalukan). Bahkan ada juga yang karena saking seringnya terlambat di skors beberapa hari. Peraturan yang ketat ini justru semakin membiasakan kami untuk bebas, namun lama kelamaan dapat bertanggung jawab atas apa yang kami lakukan. Apalagi, kami sebagai laki-laki yang memang dituntut memiliki tanggung jawab lebih.
Di kolese ini, yang saya yakin tidak ada di sekolahan manapun, adalah pendidikan karakter. Ini ternyata penting untuk menjamin keberlangsungan bangsa dengan pribadi-pribadi yang berkarakter. Bayangkan negara ini tanpa anak muda yang memiliki karakter, memiliki kepribadian, dan memiliki pendirian. Ya akibatnya seperti sekarang ini. Secara tidak langsung, kita kembali dijajah oleh bangsa-bangsa barat dan oleh Jepang. Lulusan kolese ini, walaupun tidak pandai, tapi setidaknya memiliki kepribadian dan pendirian. Akan sangat berbeda ketika bertemu dan berbicara dengan alumni-alumni kolese-kolese ini bila dibandingkan dengan lulusan SMA-SMA yang lainnya.
Dan pandangan keempat yang berhasil dimentahkan lagi adalah bahwa dulu ketika SMP saya sangat tidak ingin masuk ke kolese ini. Saya ingin masuk SMA negri terbaik di Jogja saja. Namun, ketika saya telah lulus dari kolese ini dalam waktu yang sangat singkat dan mengalami seluruh dinamika dan pendidikan di dalamnya, saya kemudian mengubah pandangan saya dan berkata bahwa saya bangga bisa sekolah di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Ad Maiorem Dei Gloriam.


Jumat, 03 Februari 2012

Dear Orang Kaya

#dearorangkaya yang terpaksa jalan pelan-pelan karena takut mobilmu yang harganya 1M itu takut kena cipratan air hujan atau kena srempetan jas hujan pengguna motor, gantilah saja mobilmu dengan mobil trunthung seharga 5 juta saja kalau kamu takut akan hal-hal itu. Sincerely #orangmiskin

#dearorangkaya yang menyeberang jalan dengan mobilmu yang mulus dengan seenaknya, main potong, pajak mobilmu memang mahal, tapi jalan ini tetap milik semua orang. Kaya,  miskin, tua, muda, pengemis, pejabat semua berhak merasakan. Sincerely #orangmiskin

#dearorangkaya yang menggunakan satu mobil hanya untuk satu orang. Sebaiknya pakai sepeda motor atau angkutan umum. Sadarkah berapa besar polusi yang kamu hasilkan dan berapa persen kamu telah menyumbang untuk kemacetan kota dan pemborosan? Sincerely #orangmiskin

#dearorangkaya yang rumahnya berpagar segede gaban. Tak perlu seperti itu. Kami, orang yang di sekitarmu bisa turut menjada rumahmu yang supermegah itu. Ketertutupanmu, hanya menimbulkan rasa penasaran orang yang tak bertanggung jawab yang berujung pada tindak kriminal, dan itu bukan salah kami. Sincerely #orangmiskin

#dearorangkaya yang memakai pakaian biasa dengan harga yang luar biasa yang kemudian jual mahal dengannya. Yang kamu gunakan itu fungsinya sama dengan yang kami gunakan. Baju, fungsinya juga untuk menutupi tubuh, dan sepatu juga tetap akan menjadi alas kaki. Tidak perlu takut bajumu kena hujan dan sepatumu kena lumpur. Karena memang itulah fungsinya. Kalau kamu tak mau, belilah saja baju 10 ribuan dan sepatu kulit buatan Pak Marno di seberang jalan sana. Sincerely #orangmiskin

#dearorangkaya yang tiap datang dengan mobil mewahnya mengklakson-klakson di depan gerbang agar pembantu membukakan pagar. Apakah dirimu masih punya tangan dan kaki untuk membuka sendiri pagar itu? Seberapa mahalkah langkahmu untuk membukakan pagar itu? Sincerely #orangmiskin

#dearorangkaya yang memperlakukan pembantu seenaknya sendiri dan seolah-olah budak bayaran. Pahamkah kalian mengenai HAM, hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh masing-masing manusia? Pembantu kalian, jongos kalian, juga manusia. Perlakukanlah mereka selayaknya manusia, bahkan seperti keluargamu sendiri karena mereka telah dengan baik memperlakukan kalian. Keluarga yang memperlakukan pembantunya dengan baik, maka pembantunya pun akan menunjukkan sikap-sikap yang baik dan santun kepada siapapun (Mbak Sih, 2011). Sincerely #orangmiskin

Aku, sebagai seorang penulis yang menulis semua ini. Aku orang miskin, bukan berarti aku iri dengan segala yang kalian miliki. Bagiku, segala kemewahan itu hanyalah sampah dari segala zaman. Dibawa mati kah semua kekayaanmu itu? Semua kesombonganmu, kecongkakanmu, kepongahanmu itulah yang akan kamu bawa mati dan dicatat oleh orang-orang suci di Surga atas segala keburukanmu.

Aku sama sekali tak iri. Aku pun pernah merasakan memiliki rumah yang sangat besar di tengah-tengah rumah orang desa yang masih didominasi rumah berdinding anyaman bambu. Aku pernah merasa memiliki TV dan mobil satu-satunya di desa. Dan aku juga pernah merasa setiap minggu pergi ke Mall besar dan membeli banyak barang-barang baru yang mahal, hedon. Tapi, ketika aku telah besar dan belajar banyak hal, aku menyadari tiada guna aku hidup bermewah-mewahan. Tiada guna aku memiliki uang yang banyak karena hanya sepersekian detik saja, uang yang banyak itu akan hilang dengan sendirinya tanpa kita minta.

Hiduplah dalam kesederhanaan kawan. Kesenjangan sosial itulah yang membuat hidup kita tidak nyaman. Kemewahan hanya sejenak dan merupakan wujud aktualisasi diri yang sebenarnya konyol. Hiduplah dalam kesederhanaan kawan, karena segala sesuatu dimulai dari kesederhanaan. Dan tidak semua yang berbau kesederhanaan itu bau dan menjijikkan....

Kembali Pada-Nya


Masihkah kamu ingat?
Aku yang berbaring di jalanan itu
Ketikua itu sepeda motorku melaju kencang
Tak terkendali dan menabrak bak truk tanpa lampu

Lalu gelap seketika

Aku yang tergeletak di jalanan
Dengan wajah tak berbentuk lagi
Setelah mobil yang kutumpangi
Ringsek disambar bis yang melaju kencang

Aku bersimbah darah di tengah jalan
Tanganku kaku, suasana sekitarku gelap
Setelah sebuah sepeda motor menerjangku
Ketika aku menyeberang, tepat di zebra cross

Ya, darah bersimbah dan tergenang di jalanan
Merah, seolah-olah berani
Padahal sesungguhnya aku takut menghadapi kematian
Aku belum siap hadapi kematian, jika bukan karenamu

Darah yang menggenang itu telah hilang
Hilang tersapu hujan yang deras kemarin sore
Dan luka-luka sobek dan sayatan sekujur tubuhku
Telah tak terasa dan telah sirna

Karena aku telah berpulang kembali kepada-Nya
Dan semua kesalahanmu telah kumaafkan

MoKid, 3 Feb 2012
Untuk semua korban kecelakaan di jalan
Tak terkecuali (suatu ketika) diriku sendiri

Senja

Ketika senja akan berlalu
Apakah yang kan kamu lakukan?
Menangisi pagimu yang tlah lalu?
Atau menyesali harimu yang suram?

Demikian pula dengan hidup
Ku tak ingin kau sesali hidupmu
Ketika hari tiada kan kembali
Dan ketika ajal tiba menanti

Teruslah berkarya
Teruslah bekerja
Masa depanmu dan dunia
Ada dalam genggamanmu

Ad Maiorem Dei Gloriam

Mokid, 1 Februari 2012
Kukirimkan untuk seseorang yang (jauh) disana