Jumat, 26 Agustus 2011

A Tidak Akan Selamanya Menjadi A, Sekali-kali Ia Harus Menjadi B

Ketika saya sedang duduk-duduk di garasi sebuah perusahaan otobus yang cukup bonafide di Jawa Timur bersama teman-teman saya, saya ditanya oleh seorang teman saya. Pada intinya, dia bertanya kok mau-maunya seorang calon dokter gigi, yang notabene pintar (padahal saya sama sekali tidak pintar), cinta kebersihan, hidup teratur, rapi, lemah lembut (dan sifat itu tidak ada pada saya semuanya) justru mau bekerja di sebuah garasi bus yang sangat lekat dengan kehidupan orang terminal yang notabene keras, kasar, kurang manusiawi, penuh dengan teriakan dan umpatan, dan penuh dengan keringat dan derita. Saya pun hanya menjawab sederhana. Sekali-kali, seseorang tidak harus berada di puncak. Sesekali kita harus bisa merasakan lembah, bahkan palung yang terdalam sekalipun. Jika kita berada di puncak terus, maka kita tidak akan pernah merasakan suramnya lembah dan palung. Pada intinya, saya mengatakan bahwa saya memang kuliah di Kedokteran Gigi. Tapi, tidak akan selamanya saya akan menjadi seorang dokter gigi. Suatu waktu, dan bila memang saatnya, bisa jadi saya tidak bisa jadi dokter gigi. Bisa jadi saya malah jadi sopir travel, atau kernet bis.
Bagi saya, tidak ada salahnya mencoba sesuatu hal yang kadang diluar pikiran kita. Kita terkadang terkungkung dalam batasan-batasan pikiran kita. Jika kita kuliah di kedokteran gigi, maka kita besok juga akan menjadi dokter gigi, atau seminimal-minimalnya dosen. Ingat, jaman itu berubah dengan cepat. Tanpa bermaksud mendiskreditkan salah satu jurusan, tapi dulu mahasiswa fakultas ekonomi memiliki peluang sangat besar untuk bekerja di perusahaan. Tapi, ternyata peluang kerja itu menyusut seiring bertambah pesatnya universitas yang buka fakultas ekonomi. Bisa jadi demikian dengan FK dan FKG. Bisa jadi ketika kita lulus, malahan kita bekerja buka bengkel, jadi sopir metromini, pegawai front office sebuah bank, dan lain sebagainya. Setidaknya kita pernah lah mengalami sebuah kehidupan yang berbeda jauh dengan apa yang kita idam-idamkan melalui pendidikan kita. Inilah yang sering disebut sebagai pengalaman tapal batas. Kita mengalami suatu hal yang memang belum pernah kita alami dan jauh diluar pikiran kita.
Setidaknya, teman-teman punya cukup waktu luang untuk mencoba bekerja sampingan yang ekstrim hanya sekedar mengisi liburan yang menjemukan. Misal, jadi tukang tambal ban lah, mungkin juga menjadi tukang parkir, jadi kurir, atau bahkan menjadi tukang sapu jalanan. Bahkan, jika memungkinkan, pekerjaan yang lebih ekstrim sebagai kernet bus pariwisata akan saya coba jalani pada liburan semester genap mendatang :D

Rabu, 17 Agustus 2011

Maaf, Bukan Atas Dasar Popularitas

Blog ini sudah cukup tua. Boleh dikata sudah cukup usang. Sudah berusia hampir 3 tahun tepatnya. Mungkin pembaca rutin blog saya sudah sangat bosan dengan tampilan blog saya. Maklum saya tidak terlalu bisa mengatur blog saya sedemikian rupa sehingga bisa diberi tampilan yang sangat indah dan ada musik-musik yang membuat pembacanya betah. Satu-satunya yang menjadi daya tarik blog saya adalah tulisan-tulisan yang saya buat. Dan memang itulah tujuan saya membuat blog ini, yakni untuk sebagai tempat belajar menulis dan mencurahkan pikiran.
Sesungguhnya, blog ini, seiring berjalannya waktu, telah saya pecah menjadi dua. Sebenarnya hanya agar blog bisa lebih fokus saja. Blog bukamata-bukahati.blogspot.com ini lebih dikhususkan untuk tulisan-tulisan saya dalam bentuk opini, deskripsi, narasi, puisi, dan karya sastra buatan saya. Sedangkan ceritadisana.blogspot.com ini lebih merujuk pada kegemaran saya untuk travelling. Berisi mengenai lokasi-lokasi wisata yang pernah saya kunjungi dan kuliner yang pernah saya coba. Semua yang saya tulis di blog merupakan pengalaman saya sendiri, saya harus pernah mencoba, dan saya harus mendalaminya semampu saya bisa.
Ada banyak sekali pro dan kontra mengenai tulisan yang saya buat. Ada yang mengatakan terlalu keras lah, ada yang mengatakan tidak setuju dengan tulisan saya, ada pula yang sangat keras mengatakan bahwa tulisan saya yang satunya di like banyak orang itu bagus, sedangkan yang satunya itu jelek karena tidak di like oleh banyak orang. Bagi saya tidak masalah kritik-kritik membangun seperti itu. Tapi, saya sangat tidak setuju jika tulisan saya dianggap hanya mengikuti jaman seiring dengan banyak atau tidaknya like atau unlike suatu jaringan sosial. Saya menilai, karena tulisan saya kebanyakan adalah opini, maka baik tidaknya tulisan saya adalah menimbulkan pro dan kontra dikalangan pembaca. Artinya pembaca dengan sungguh-sungguh membaca tulisan saya dan mencocokkan dengan keadaan sekitarnya. Tinggal pembaca ini peka atau tidak dengan keadaannya. Ada beberapa yang memang sempat membaca tulisan saya, sempat mengkritik, kemudian terjadi diskusi, meskipun ada beberapa yang saya ajak diskusi tetep kekeuh pada pendiriannya. Tidak salah. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak pembaca sekalian untuk belajar bersama. Belajar menulis, belajar berdiskusi, belajar debat bahkan, dan yang terpenting adalah belajar peka dengan kondisi sekitar.
Mohon maaf sekali lagi mohon maaf. Saya tidak terpengaruh dengan like atau unlike dalam suatu jejaring sosial. Like banyak belum tentu tulisan saya bagus. Like sedikit belum tentu juga tulisan saya jelek. Bagus apabila dalam komentar share di jejaring sosial terdapat diskusi yang panjang, namun dapat terambil suatu kesimpulan. Saya baru merasa tulisan saya menarik perhatian orang tersebut. Jadi, saya tidak menulis berdasarkan like dan unlike. Saya pun menulis di blog ini bila dan hanya bila saya memiliki pengetahuan tentang hal yang akan saya tulis, yang mana hal ini sangat wajib saya bagikan sebagai tambahan pengetahuan pembaca. Seorang guru sejarah saya dulu pernah berkata bahwa manusia itu harus menjadi X+1 dan saya ingin membagikannya dan mewujudkannya pada diri saya sendiri dan Anda pembaca sekalian.
Anda boleh bilang saya komunis, saya pro penjajahan, saya terlalu bodoh, saya konyol, saya gila, atau segala umpatan yang busuk mengenai saya. Tapi, saya selalu mencoba menulis dengan sudut pandang yang saya miliki, bukan atas dasar trend. Kalau Anda ingin tahu, saya bukan penggemar dan pengikut trend disini. Saya lebih dikenal sebagai pembangkang. Mari, melalui blog ini kita saling bertukar pikiran, kita diskusi, kita membuka wawasan kita dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, menambah sikap legowo kita memahami kenyataan, dan belajar mawas diri, tepa slira, peka terhadap kondisi sekitar. Akhir kata :

TERIMA KASIH BANYAK KEPADA PEMBACA SETIA BLOG INI

Selasa, 16 Agustus 2011

Puisi Kemerdekaan

Indonesia merdeka
Aku sedih
Bukan karena Indonesia telah merdeka
Ya, merdeka hanya bagi pahlawan kita
Aku dan kawan-kawanku tak pernah merdeka

Apa arti merdeka bagi kalian?
Bebas dari penindasan?
Sudahkah aku dan kalian bebas dari penindasan?

Budaya Jawa terus tergerus budaya barat
Yang hilang akan makin hilang
Yang adiluhung, akan menjadi hina
Tidakkah merasa kita sedang ditindas?

Tatakrama kian hilang lagi-lagi termakan budaya barat
Lewat depan orang tua tak lagi pemisi
Yang ada hanya ada kata "Fuck!"
Tidakkah kalian merasa tertindas?

Banyak orang terusik dan tidak dapat berdoa dengan tenang
sesuai dengan keyakinan masing-masing
Akibat ulah kelompok-kelompok mengatasnamakan agama
Masihkah kalian merasa merdeka?

Para pengusaha kecil berteriak dan menangis
Ketika gempuran barang luar negri masuk ke pasar kita
Ribuan orang ter-PHK karena gempuran barang dari luar
Masihkah kalian merasa kita telah merdeka?

Kalau memang yang kalian maksudkan kita telah merdeka
adalah kita bebas dari penindasan
Maka, kita belum merdeka
Aku, ibu pertiwi, dan para pahlawan pantas menangisinya
Kita merdeka, dan merdeka hanya sekedar kata
Sesungguhnya kita hina
Kita belum merdeka

Sadarilah bahwa kita telah merdeka dahulu
Namun, kita belum merdeka disini, saat ini

Memaknai Kehadiran Penjajah 416 Tahun Lalu

Lebih kurang 416 tahun yang lalu penjajah, yang tak lain adalah Belanda datang ke Indonesia. Sejarah lebih kurangnya datangnya Belanda di Indonesia bisa dilihat di buku-buku sejarah, meskipun saat ini banyak sekali sejarah yang dipelintirkan sedemikian rupa oleh beberapa orang yang memang punya kepentingan di dalamnya (sebaiknya, melacak sejarah jangan hanya melalui 1 buku, tapi dari banyak buku. Baik buku sejarah yang biasa dipakai untuk pelajaran, maupun buku-buku lainnya yang mengulas peristiwa dibalik sejarah). Tanpa kita sadari, tanpa penjajah kita lemah. Sadarkah Anda dengan keadaan demikian?
Pernyataan saya diatas bukan sebagai bukti bahwa saya adalah pihak yang pro dengan kolonialisme, penindasan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kata penjajahan. Tentu semuanya tahu, tanpa ada penjajah yang hadir di negeri kita ini, infrastruktur kita sangat lemah. Saya tidak membayangkan bila Belanda dulu tidak datang ke Indonesia, saya sangat yakin 110% sepandai-pandainya intelektual kita, bangsa kita masih menjadi bangsa yang primitif. Saya membayangkan di Jakarta tidak ada gedung-gedung pencakar langit yang sedemikian dahsyatnya. Yang ada hanya rumah joglo dan rumah panggung. Saya tidak membayangkan pula jika Belanda tidak ada di Indonesia, kita bepergian dari Jakarta ke Surabaya masih harus menggunakan sepeda onthel atau naik gerobag. Jembatan-jembatan yang ada di Indonesia pun pasti masih jembatan bambu, atau malah tidak ada jembatan karena struktur infrastruktur yang diajarkan di Teknik Sipil saat ini tidak kita kenal karena tidak ada penjajah yang hadir. Belum lagi rel kereta api dengan jaringan yang sudah sangat baik, sudah sangat teratur, dan sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan oleh Belanda dihitung dari perkembangan area tersebut di kemudian hari, jalan-jalan yang kini kita lalui, meskipun bukan Belanda yang membuat, namun sudah didahului oleh Belanda dengan membuat jalan-jalan dari tanah. Juga jalan Anyer-Panarukan yang beberapa jalurnya saat ini telah berubah menjadi jalur Pantura yang menjadi poros transportasi utama di pulau Jawa. Infrastruktur berupa jembatan dan lain sebagainya. Ingatkah akan itu semua? Tentu, yang Anda ingat hanya Indonesia yang ingin merdeka.
Tahukah Anda Surabaya dulu telah dibuatkan Trem di sekitar Tugu Pahlawan oleh Belanda? Itu karena Belanda telah memperhitungkan bahwa daerah-daerah yang ada pelabuhannya akan berkembang menjadi kota yang besar (metropolitan) dan transportasi akan menjadi susah. Tahukah Anda bahwa jaringan rel kereta api di Yogyakarta dahulu telah sampai di Kota Bantul, bahkan membentang ke utara hingga arah Tempel sampai ke Semarang? Ini karena telah diperhitungkan bahwa poros tersebut akan menjadi poros yang sangat ramai (boleh lihat Bantul-Kasongan-Kota Jogja-sampai terus membentang ke arah Tempel, Sleman). Semuanya kemudian dirusak tanpa memperhitungkan aspek-aspek perkembangan jaman, dan kini kelabakan lagi ketika akan membuka jalur tersebut.
Juga tahukah Anda bahwa pabrik-pabrik gula yang sangat dahsyat itu, Pabrik Gula Madukismo Jogja, Pabrik Gula Tjoekir Jombang, Pabrik Gula Gondang Klaten, Pabrik Gula Glodok Magetan, bahkan Pabrik Gula Jatiroto Lumajang itu dibangun oleh Belanda? Mereka meninggalkan teknologi yang sangat membantu kita di kemudian hari. Bahkan, kalau Anda ingin tahu, dulu di Jogja dan Klaten ada puluhan pabrik gula yang dibangun oleh Belanda untuk pemenuhan gula di daerah tersebut. 
Tentu juga Anda mengenal obyek wisata Kaliurang Jogja. Obyek wisata ini dibangun oleh Belanda juga sebagai tempat peristirahatan petinggi-petinggi Belanda. Kenapa obyek ini dibangun di daerah Kaliurang? Kenapa tidak di daerah lainnya saja, Deles Klaten katakanlah? Karena Kaliurang ini dilindungi oleh 2 bukit, yakni Plawangan dan Turgo yang akan melindungi daerah tersebut dari serangan awan panas Merapi. Lihat, sampai sekarang, Kaliurang tidak pernah luluh lantak oleh awan panas Merapi, hanya saja memang masuk daerah rawan karena radiusnya dekat dengan puncak Merapi. 
Bagian pendidikan pun saya yakin tak pernah luput dari peran serta Belanda. Beberapa universitas pun berdiri karena Belanda mau mengkompori pembangunan Universitas di Indonesia. Dahulu dikenal dengan STOVIA yang merupakan sekolah para dokter. Saat ini STOVIA telah menjadi Universitas Indonesia di Jakarta. Juga STOVIT yang khusus untuk mendidik calon dokter gigi  dan juga NIAS yang hampir sama dengan STOVIA yang kini telah menjadi Universitas Airlangga Surabaya. Sebagai selingan, bahwa terpisahnya pendidikan dokter dan pendidikan dokter gigi juga adalah bawaan dari Belanda. Kalau Amerika yang menjajah kita, pendidikan dokter gigi merupakan bagian dari pendidikan spesialis pendidikan dokter.
Kalau kita lihat, apa sih yang buruk dari penjajah yang telah menjajah negeri kita ini? Oke lah, mungkin penyiksaan terhadap para pejuang kita ini. Tapi kita selayaknya boleh berbangga dan bersyukur karena telah pernah dijajah oleh bangsa yang cukup bertanggung jawab ini, mau menjajah dan mau meninggalkan sesuatu bagi negara kita ini. Yang tinggal di Jawa dan Sumatra, lihatlah daerah lain yang tidak pernah disinggahi oleh penjajah. Seperti Papua, Kalimantan pedalaman. Tentu tidak ada infrastruktur yang baik yang ditinggalkan. Bolehlah kita bersyukur dan berterima kasih kepada pihak yang pernah menjajah kita, sekali-kali, bukan hanya pahlawan kita yang dipuji terus, meskipun mereka telah berjasa pula.

Kamis, 11 Agustus 2011

Nilai Tergali dari 8 Jam Bersama Sancaka

Kebiasaan mengobrol dengan sesama penumpang di kendaraan umum ternyata kadang bisa membuahkan hasil yang positif bagi kita. Meskipun tidak selalu begitu. Maraknya pemberitaan mengenai aksi pembiusan di angkutan umum oleh sesama penumpang dengan modus pura-pura akrab menjadikan banyak penumpang, meskipun tidak semua, menjadi malas menjalin komunikasi, meskipun mereka duduk berdampingan. Padahal, komunikasi ini sangat penting, meskipun hanya sekedar berbasa-basi. Misalkan hanya bertanya akan turun dimana, aslinya dari mana, di tempat tujuan kerja atau kuliah, dan lain sebagainya. Tanpa perlu diatur dengan skenario yang rumit, maka pembicaraan akan terus berlangsung, bahkan jika pembicaraan itu benar-benar menarik dan mengena di hati bahkan sampai tempat tujuan pun rasa-rasanya masih ingin ngobrol. Yang terpenting ketika komunikasi sudah dimulai, singkirkan dahulu kecurigaan kepada orang tersebut, namun tetap waspada. Tetap menolak dengan halus jika lawan bicara kita memberikan makanan atau minuman yang mencurigakan, tanpa ada perasaan ingin melecehkan.
Proses komunikasi yang semacam inilah yang sering saya alami ketika naik kendaraan umum, terutama kereta api. Ketika di bis, terutama bis ekonomi, kebiasaan komunikasi dengan teman duduk saya ini sedikit saya hilangkan karena resiko yang sangat besar terjadi pada bis-bis ekonomi. Beberapa hari lalu, saya bepergian dari Jogja ke Surabaya dan dari Surabaya ke Jogja. Kebetulan pula, kursi samping saya ada yang mengisi. Padahal biasanya kursi sebelah saya kosong.
Ketika berangkat, saya menggunakan kereta Ekspress Sancaka dan kebetulan juga hanya dapat kursi di kelas Bisnis. Dari Jogja, kursi sebelah saya masih kosong, sementara depan belakang saya telah penuh. Biasanya bila dari Jogja kosong, maka akan terisi di Solo Balapan atau Madiun. Ternyata kursi sebelah saya ini terisi di Solo. Harapan saya yang mengisi itu mbak-mbak yang cantik dan enak diajak ngobrol. Ternyata yang mengisi adalah seorang wanita. Tapi sayangnya sudah tua dan seumuran bapak saya. Ketika kereta mulai berjalan obrolan masih belum dimulai. Baru ketika menjelang masuk Stasiun Solo Jebres, kami mulai mengobrol. Awalnya juga sama, hanya ditanyai mau kemana dan kuliah dimana. Kemudian obrolan menjadi meluas ke topik-topik yang sangat sensitif : perihal bahasa dan sikap saling menghargai.
Awalnya, kami hanya mengobrol mengenai bahasa di Surabaya yang cenderung kasar. Kemudian kami mulai menyangkut paut ke bahasa Jawa yang penggunaannya sebenarnya masih banyak tapi kemudian penggunaannya kurang tepat. Secara umum, bahasa Jawa itu terdiri dari 3 jenis bahasa, yakni Jawa Ngoko (yang biasa digunakan untuk berbicara dengan teman kita. Contok : kowe ki nang ndi kok tak goleki ora ono?), Jawa Ngoko Alus (ini merupakan percampuran antara Jawa Ngoko dengan Krama (sering disebut Krama Alus). Untuk bahasa Jawa jenis ini sangat jarang digunakan. Bila digunakan pun biasanya digunakan untuk teman yang lebih tua dari diri kita), dan Jawa Krama atau Krama Alus (yang ini sudah sangat jarang digunakan karena sedikit orang yang paham). Saya dan ibu tersebut sepakat bahwa anak muda jaman sekarang itu dalam kemampuan berbahasa kurang memiliki sopan-santun dalam bertutur kata. Bahasa Jawa itu sangat mudah dikuasai, bahkan bayi-bayi di Jawa jaman sekarang ini saya yakin sudah bisa bertutur bahasa Jawa. Hanya itu tadi, bahwa banyak yang lupa bahasa Jawa itu punya konteksnya masing-masing. Bukan pada konteksnya ketika kita mengobrol dengan orang tua dengan bahasa Jawa Ngoko. Bukan konteksnya pula kita kemudian bercengkerama dengan teman-teman sepantaran kita dengan bahasa Jowo Krama Alus. Kebanyakan anak muda berbicara kepada orang yang lebih tua, katakanlah sudah kakek nenek, masih menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Hanya beberapa saja yang menggunakan bahasa Jawa Krama meskipun sedikit campur aduk, tapi saya menghargai itu. Setidaknya ada sedikit upaya untuk belajar kembali menggunakan bahasa krama. Saya dan ibu tersebut juga sedikit menyinggung mengenai penggunaan bahasa tersebut. Memang lebih baik jika tidak bisa menggunakan bahasa krama, gunakanlah bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Dua bahasa tersebut memang memaksa kita untuk menjadi lebih halus dalam bertutur kata dan menjalin sikap saling menghormati.
Dari percakapan tersebut, kami juga membicarakan bahwa ternyata penggunaan bahasa itu mencerminkan pribadi seseorang. Bagaimana seseorang menggunakan kosakata ataupun tutur kata yang sesuai konteks ketika berbicara. Jika berpicara dengan orang yang lebih tua, atau baru dikenal, gunakanlah kosakata atau bahasa yang halus. jangan menggunakan bahasa yang cenderung kasar, dan jangan menggunakan bahasa jawa ngoko. Bila sudah akrab, penggunaan kata-kata yang cukup kasar boleh digunakan meskipun tidak dianjurkan, penggunaan bahasa Jawa Ngoko juga dipesilakan. Pada intinya, kemampuan berbahasa seseorang akan sangat mencerminkan bagaimana seseorang tersebut menghargai orang lain. Perihal kedua selain bahasa yang kami bicarakan adalah mengenai perilaku menghormati keberadaan orang lain yang sudah juga jarang dilakukan oleh orang-orang muda. Sederhana sekali, pamit kepada orang yang ada di rumah sebelum meninggalkan rumah sekalipun, bahkan kepada seorang pembantu sekalipun. Kebanyakan orang muda saat ini ketika akan pergi dari rumah hanya langsung ngeloyor saja. Hanya tiba-tiba orang tua bingung dan kemudian bingung sendiri mencari-cari anaknya. Setidaknya, ketika akan pergi pun hanya berkata "Pak, Bu, Mbak, Mas, saya pergi dulu" itu saja sebenarnya cukup, meskipun lebih baiknya lagi menyampaikan akan pergi kemana. Juga perilaku kepada seorang pembantu. Jika memang yang ada di rumah hanya pembantu, pamiti juga pembantu tersebut. Jika kita makan, jangan lupa mengajak orang di sekitar kita untuk makan, bahkan seorang pengemis atau pembantu sekalipun. Karena semua manusia sama dan sederajat, maka mereka pun berhak kita hormati. Pembantu, pengemis, tukang pel itu hanya predikat pekerjaan saja. Namun subyeknya adalah bahwa mereka itu seorang manusia yang berhak dan wajib untuk dihargai.
Ngobrol ini berlangsung selama 4 jam dari Solo sampai Shelter Ngagel, Surabaya. Obrolan ini benar-benar bermanfaat, sekaligus sarana bagi saya untuk menertawakan diri sendiri karena semua yang dikatakan ibu tersebut mengenai anak muda banyak benarnya.
***

Hari berikutnya, saya memutuskan untuk pulang ke Jogja kembali berhubung ada urusan. Ketika itu saya langsung membeli tiket di stasiun Gubeng tepat 45 menit sebelum keberangkatan kereta. Ternyata tiket masih ada dan bisa dapat tempat duduk di kereta Eksekutif dan lagi-lagi Sancaka. Tepat pukul 14.50 saya sudah standby kembali di Stasiun Gubeng setelah sebelumnya pulang ke kos untuk beres-beres. Kereta akan berangkat pukul 15.00. Ketika saya naik ke kereta, harapan saya bisa dapet teman ngobrol lagi sama ketika saya berangkat kemarin. Ternyata bangku sebelah saya ada yang menempati. Seorang laki-laki yang masih kira-kira berumur 25 an tahun. Nampaknya orang yang cukup sibuk. Baru saja duduk, sudah mencolokkan BBnya ke stopkontak dan berBBM ria. HP Nokia butut miliknya yang satunya juga tak henti-hentinya berdering. Batinku, pasti orang ini sangat sibuk sehingga tidak cukup waktu untuk ngobrol. Ketika kereta sudah beranjak berjalan, saya masih berada di pintu untuk melihat-lihat perkampungan kumuh pinggir rel sepanjang Surabaya Gubeng-Wonokromo. Baru kemudian saya kembali ke tempat duduk karena pintu harus ditutup. Ketika saya kembali duduk itulah ternyata komunikasi terjadi. Orang yang supersibuk tadi ternyata adalah seorang dokter lulusan universitas Tarumanagara Jakarta dan saat ini bekerja di RS Oen Surakarta dan menjadi seorang suplyer alat-alat kesehatan. Saya diberi kartu namanya ketika sudah tiba di Solo Balapan dan ia akan turun. Kami mengobrol mengenai banyak hal, terutama masalah-masalah di bidang kesehatan. Saya diberitahu banyak tips untuk bisa sukses di bidang kedokteran, terutama bila ingin jadi PNS dan bisa memperoleh pendidikan yang tinggi. Tips-tips ini tidak akan saya florkan disini karena bersifat pribadi. Juga mengenai peluang-peluang bekerja di Kedokteran Gigi. Saya awalnya hanya mengira lulusan Kedokteran hanya akan bekerja di rumah sakit, universitas, atau praktek sendiri. Ternyata lebih dari itu. Bisa juga bekerja di perusahaan-perusahaan menjadi dokter perusahaan, atau di kebun dan menjadi dokter kebun. Bisa juga jadi makelar alat-alat kedokteran yang menggiurkan. Juga kami berbicara sedikit mengenai Farmakologi bahwa dalam ilmu tersebut, seorang dokter harus benar-benar mampu untuk tahu isi-isi apa saja yang ada dalam obat tersebut. Dalam memberikan obat tidak dapat sembarangan. Seseorang memiliki kebolehjadian mengalami alergi terhadap obat atau vitamin tertentu. Sehingga, seorang dokter harus tahu benar mengenai obat yang diresepkan kepada pasiennya.

***
Itu tadi hanya sebagian saja nilai-nilai yang berhasil saya gali dari ngobrol dengan sesama penumpang di kereta. Sangat banyak manfaatnya ketika kita mengobrol dengan sesama penumpang. Apalagi bagi para calon dokter, setidaknya ngobrol ini bisa melatih para calon dokter dalam berlatih berkomunikasi dan memahami sifat dan perilaku pasien yang kita hadapi.